Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Barat

Kamis, 11 Oktober 2007

Yopi Setia Umbara


Yopi Setia Umbara ddilahirkan di Bandung pada 30 Maret 1984. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia, aktif bersastra di Arena Studi Apresaiasi Sastra (ASAS) UPI, membaca puisi bersama ULa (Marginal Poetry Readers). Tercatat juga sebagai anggota Komunitas Sastra Bandung Utara (KSBU). Penggiat Jurnalzine RajaKadal, sebagai Redaktur. Salah satu puisi:



Mozaik Ibu


Adalah cinta
:setiap tetes air susumu mengajarkan jejak
nafas yang kau pungut dari usia. hanya
senja mengurai setiap helai rambutmu
menjadi uban di kursi goyang,
meninabobokan keluh.
Seperti mozaik di matamu
:kepingan mimpi dan harapan terangkai
menjadi satu ujaran bijaksana,
tentang perih liku hidup;
senyummu bagai nadi, tak pernah putus
Engkaulah gradasi warna langkah
:tertata meski semakin renta.
telah yakin memenuhi jiwa. hingga
tak pantas untuk didusta,
apalagi terus diminta.

2005

Yadi Mulyadi


Yadi Mulyadi

(Bandung)



Lahirkan di Tasikmalaya 1982. penulis sedang mengikuti berbagai aktifitas kepenulisan dan jurnalistik diantaranya di BATIC ICMI Bandung. Belajar mengolah kata bersama komunitas independent Selasar dan qalam Rata. Sekarang dipercaya sebagai Pemred bulettin qalam Rata Salah satu puisinya :


Ketika Naluri


kenapa aku berharap dengan semua naluri

yang memanas dalam rintihan sukmaku

kulambaikan tangan kejiwaan pada arwah-arwah

yang terbuang diantara lorong-lorong sampah

kuziarahi semuanya dengan kucuran air mata

yang mengalir tiada henti


aku bahkan tak tahu jalan yang ditempuh seluruh arwah

ketika datang menjumpaiku

ketika kamarku terbelenggu dengan jeruji besi yang mengarat

ketika aku terpatok dengan kayu-kayu jati yang melintang

membayangi setiap lirik cahaya yang masuk

ketika hidupku yang keras mendobrak seluruh jendela

ketika arwah besar menelanjangi jalinan benang

yang menempel erat di atas ari yang menipis

ketika geraman arwah mengikuti aliran kandung kemih yang menjalar


ketika aku berharap dengan semua naluri


panyawangan,
2004

Tresna Ismaya


Tresna IsmayaLahir di Bandung pada tanggal 25 Maret 1985 dari rahim seorang ibu yang menyukai puisi. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI yang senang berkawan ini kini tengah merintis skripsi tentang Filologi. Ia pun sempat aktif di Hima Satrasia dan membaca puisi bersama QOEJA art club. Selain aktif di ASAS UPI dan komunitas Selasar aktif juga sebagai staf redaksi di bulletin Qalam Rata dan di Folklore Institute. Salah satu puisinya :



Ibu


adalah sebuah rekaman terlengkap tentang gambar kehidupanku
adalah petuah dalam bersikap
adalah tanda, dimana aku harus bepijak
adalah penjaga dari topan yang menghempas
adalah pentunjuk menuju sungai madu
ibu

13 Desember 2005

Sigit Rais



Sigit Rais lahir di Bandung, 22 Desember 1984, masih kuliah di program Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI. Menulis (puisi, cerpen, dan esai), melukis, dan berseni peran. Tulisannya pernha di publikasikan dalam Pikiran Rakyat, Radar Bandung, bandung Post, Fantasi, BEN!, Buletin Literal, majalah Islam Message, www. Sarikata.com, Dinamika & Kriminal, Cinta Pertama (Insist, 2005), roh: antologi puisi penyair bali-jawa barat (bukupop, 2005), antologi puisi Pagi di Buntiris (Selasar, 2005), dan antologi puisi tunggal Parade Kegelapan (2005). Pada tahun 2004 salah satu puisinya terpilih sebagai juara 2 dalam lomba yang diadakan oleh Institut Perempuan dan Unicef. Tergabung ke dalam Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI, Mnemonic Gank Mnuliz, QOEJA art club, komunitas SELASAR, Terase 06, komunitas Ruang Aksara, sebagai redaktur cerpen buletin Qalam Rata, dan mengelola media independen Selasar. Di bidang seni peran pernah mementaskan drama Epilepsi (1996), Masyitoh Abad 21 (2000), Cerita Cinta (2001), BOM (2002), Sisit Kadal (2004), Petang di Taman (2005), dan sejumlah pementasan dramatisasi puisi, kabaret, dan performance art. Salah satu puisinya :

Episode Kelahiran
untuk perempuan hebat yang melahirkan aku dan saudara-saudaraku

1983-kelahiran senyum ranum-
tangan-tangan takdirlah yang memisahkan Nakula dan Sadewa. O, garis nasib dipucuk mimpi, perpisahan mereka terlalu dini.
“bunda, aku pergi. Jangan galau masih ada saudaraku tertanam di istana rahimmu”
o, ada senyum ranum di gumpal darah merah. Tetesan beku itu berkata-kata tentang pisah yang akan berbalas pertemuan. Suatu saat nanti

1984-kelahiran di pematang hari-
langit dipayungi sayap bidadari.
di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang
telah menyempurnakan keperempuannya
kedatangannya adalah gempita cinta di
mata bunda. Timang sayang, o, lelaki suci di pematang pagi
berselimut ribu-ribu mimpi, bertahta cahaya di altar sarat do’a
timang sayang, o, lelaki suci di pematang pagi
lihatlah, di situ ada jalan setapak. Jalan sunyi yang diarungi sendiri
o, lelaki suci di pematang pagi
“jangan pergi sendiri!”

o, lelaki suci di pematang pagi, pergi sendiri bersama empat matahari
kematian terlalu dini, lelaki berwujud mimpi!
malam datang bersama malap cahaya bulan mati
perempuan itu kini ditikam sunyi
“anakku telah pergi.”

1984-kelahiran pengemban imajinasi-
adakah senja jadi saksi pasti atas kedatanganku di riuh hari?
ingatlah!
di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang
telah menyempurnakan keperempuaannya
sebagai ibu atas benih lelaki sehidup semati
muncrat keringat campur darah hebat di ketegangan urat
tangis menyengat penat; ini saat yang tepat, saya yang dinanti
“anakku telah kembali!”
suci bayi suci, o, pengemban imajinasi. Itu aku
mereguk cinta bunda dari perempuan bermata permata
astaga, bayi itu tak lagi jadi bayi
“jangan pernah pergi lagi !”

1987- kelahiran bidadari bunga-
o, belahan jiwa bunda. Di mata itu ada prasasti semesta jiwa
segala penjuru adalah padanya. O, belahan jiwa bunda
bidadari bunga menari di galau hati. Ingin dicinta dan mencinta
“jangan pergi, tetap di sisi”
bidadari bunga merasa degup hidup meletup. Nyaris lupa pada isak
serak seorang bunda saat beranak.
Hai ingatlah! di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang
telah menyempurnakan keperempuanannya.
“kembalilah menyemai benih cinta bersamaku
agar tumbuh menjadi bunga di sepanjang hidupku”

1994-kelahiran pamungkas-
senyap malam membungkus kemukus, wahai penina-bobo malam
sudah hampir pagi. Di tengah rasa sakit yang tak bisa ditawar lagi
lelaki sehidup semati datang torehkan arti
o, bibir pagi yang jadi saksi pasti
d itu ada rintih sakit seorang perempuan yang
telah menyempurnakan keperempuanannya. Ibu semesta jiwaku
Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar...
kumandang terang adalah senandung cinta perempun bernama bunda
“ini cinta adalah nyawa dari ikatan kita
jadilah matahari yang terbit di mula hari!”
bunda, kami ingin selalu di sisimu

14/12/05

Sarabunis Mubarok


Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 13 April 1976. Alumni Pondok Pesantren Al-Hikmah, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Menulis puisi dalam bahasa Sunda dan Indonesia, dipublikasikan di berbagai media massa seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan lain-lain, juga di beberapa situs internet seperti Cybersastra, #Sastra-Pembebasan#, Esso Wenni, dsb., serta di beberapa media cetak berbahasa Sunda seperti Mangle, Galura, Cupu Manik dan lain-lain. Termuat juga dalam beberapa antologi bersama seperti Antologi Puisi Jabar-Bali, ROH, (Bukupop Jkt, 2005), Mahaduka Aceh (Jkt, 2004), #sastra-pembebasan# (Damar Warga, Jkt, 2004), Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), Poligami (SST, 2003), Muktamar (SST, 2003), Hijau Kelon dan Puisi 2002 (Kompas, 2002), Orasi Kue Serabi (Gedung Kesenian Tasikmalaya, 2001), Bandung Dalam Puisi (Jendela Seni Bandung, 2001), serta dalam antologi berbahasa Sunda Ti Pulpen Tepi Ka Pajaratan Cinta (Kiblat, Bdg, 2002) dan antologi puisi-prosa Sunda Heulang Nu Ngajak Bengbat (Kiblat, Bdg, 2005). Mendapat hadiah sastra dari Lembaga Basa & Sastra Sunda (LBSS) untuk bidang puisi tahun 2001. Aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST), Komunitas Azan, Komunitas Sastra Sunda LANGARI (Panglawungan Pangarang Kiwari) dan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BP-GKT). Kini tinggal & bekerja di kampungnya di Tasikmalaya. Salah satu puisinya :


Ketika Tinta Menjadi Musuh Penyair

Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur sibuk

mengolah kertas layangan untuk diapungkan bersama

kegembiraan yang mengerat masa silam. Kata-kata

berlarian di kawat telpon, berterbangan menunggangi

gelombang radio, televisi dan internet. Segala komando

menukik ke ulu hati, menggeser posisi ayat-ayat suci,

meruncing dan melukai kecerdasan yang tersisa.


Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur bersepakat

menanam ganja di halaman rumah yang dipagari dalil-dalil

kitab suci. Di setiap musim biru, anak-anak melukis wajah

sendiri di jalan buntu. Sarang laba-laba, kepala ular naga,

aurat wanita muda, meringkus kepala dan menyundul

doa-doa ke liang kubur yang menjelma kamar-kamar

hotel dengan pintu bermuka dua.


Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur menanak

sekam untuk disuguhkan menemani botol bir, musik disko,

dan bola mata yang berjatuhan ke paha-paha pramuria. Tak

ada kata yang mengucur dari segelas anggur, kecuali salak

anjing yang bersahutan dengan suara adzan. Pada daging

usia yang menghitam, berahi akan menikam, sementara otak

kiri mengirim salam pada mesin-mesin yang bergumam.


2002.

Rian Angkasa Pinem



Lahir di Bandung 24 Pebruari 1985, tinggal di Jl Moch Toha Gg Mesjid No 30/201 B Kel Karasak-Bandung (40243), merupakan alumnus MAK Ma’had Baitul Arqom Al-Islami Ciparay-Bandung yang kini sedang melanjutkan studi kuliah S1-nya di UPI Bandung Jurusan Bahasa & Sastra Indonesia Angkatan 2003, dan kini menjabat sebagai ketua HIMA SATRASIA-UPI periode 2005-2006, juga sebagai anggota aktif UKM Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), dan Komunitas Barzanji (KOBAR). Salah satu puisinya :


Catatan Indonesia Di Pagi Hari


ada selaut air mata mengalir ke dada pertiwi

rumah-rumah kecil menghilang tanpa puing

perut seorang anak perih karena luka menangis

melihat wajah ibunya di sentuh serangga-serangga anyir


sisa air sungai memandikan tubuh kota

kehidupan tak lagi bernama karena luka

kekayaan kita tinggal sejarah nenek moyang

karena alam semakin sakit memikul keserakahan


nyawa-nyawa menjadi harga pasar tradisional

memang tak pernah kita berpikir untuk hidup

karena hari ini adalah surga yang berkeping-keping

padahal prahara hidup mengerucut di ujung nafas kita


para ulama sibuk berebut kursi di istana mainan anak TK

melupakan warisan leluhur para kekasih agung

pergantian episode menjadi mengasyikan untuk di tonton

sebagai rakyat yang baik tentu tak diam saja


tak ada lagi cerita pahlawan kemerdekaan

hanya penjahat reformasi meneriakan keadilan

panglima kita telah banyak mati karena mulutnya sendiri

berharap keabadian datang dari janji-janji istimewa


BBM, sembako, dan pendidikan mengancam si miskin

sedang harta kita terus di jarah para lintah domestik dan asing

mereka tak perduli dengan semboyan dan kaidah kemanusiaan

yang penting menanam akar kemewahan tanpa batas dan nalar


mungkin kita sudah melupakan keindahan yang haqiqi

terlena dengan bentuk kecantikan sebuah fatamorgana

suatu saat tsunami pun belum cukup untuk dirasakan

begitu pun kiamat yang disiratkan jauh-jauh sebelumnya


kuburan kita tak akan pernah sama

begitu pun cinta kita untuk siapa


Kobong Sunyi, 6 Mei 2005

Rizki Sharaf


Mendeklarasikan dirinya sebagai penyair pada tanggal 29 April 2005 di depan sekretariat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Gd Pentagon Lt III dalam acara WanMenSow- Sebuah Deklarasi Kepenyairan. Sedang menyelesaikan studi di Jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Karyanya termuat dalam Jurnalzine RajaKadal dan “ROH” Antologi puisi Penyair Jawa Barat-Bali. Sekarang Mencoba memimpin redaksi media terbitan ASAS : DERAS. Salah satu puisinya:


Tangis Pengemis


Airmata mengalir

jadi air bah.

Semua hanyut

oleh kesakitan anak kecil

yang hilang bapak-ibunya,

bergayut pada kaleng kosong

sebagai sampan

penadah rupiah


Uang tak bisa hentikan tangisan Tuan!

Silakan berlalu-lalang

bersama dompet yang enggan

melepas lajang.


Dia tidak untuk dipandang,

tapi untuk direnungkan.

Muhammad Tajuddin

Lahir di Sumenep, 20 Januari 1970. Pendidikan Tarbiyatul Mu’allimin Al – Islamiyah (TMI) 1989, Al-Ma’had Al-‘Aly/Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) 1991, tidak selesai. Mengikuti Komunitas kesenian Sanggar Sastra Al-Amien, Madura (1986-1991), Teater HILAL, Madura, (1986-1991), Forum Sastra Indramayu (FSI) 1995 - 1998, Komunitas Sastra Majalengka (KSM), 1999 - sekarang. Karyanya dimuat dipelbagai media cetak antara lain: Berita Buana, Republika, Pelita, Horison dan lain-lain. Antologi Puisi Bersama antara lain : Sajak-Sajak Malam (1987), Deru I’tikaf (1989 ), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Sebutir Mutiara di Atas Pasir Sepantai (1996), Langgam Kota Angin (1999). Dan lain-lain. Buku terjemahan antara lain : Setetes Parfum Wanita
(1993), Manusia Dalam Tiga Dimensi (1994) dan lain - lain. Salah satu puisinya :

Namaku Air

Namaku air. Aku mengalir dalam tubuh sungai
Mengarak rohku dari hulu firman-Mu menuju
Laut. Aku memasuki tulang badai. Aku berguncang bersama
Ikan-ikan yang lapar. Merindu. Menari-nari hingga gila
Aku muntah dan berputar mengelilingi lukisan kosong
Namaku tetap air. Betapa dalam cahaya matahari. Lalu
Aku menjelajah menapak langit. Tubuhku disapa angin
Lebur mengikuti musim. Bermanja-manja dalam cuaca. Aku
Menunggal dalam udara. Berjalan bersama arakan awan
Aku letih. Menjelma mendung. Aku akan kembali ke kelahiran
Abadi. Maka namaku kini hujan. Aku berjalan. Aku air
Yang kekal dalam tubuh pohon. Aku tidur di akar-akar
Aku juga menjelma bunga

Melody Muchransyah


Lahir di Bogor, 26 Juni 1987. Nama sebenarnya Azalia Pramaditha mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok (2005 - sekarang). Karya-karyanya dipublikasikan antara lain : Novel Mak Comblang :The Rule To Get Love Terrant Books (2005), majalah Plant OK :UPTOWN GIRL (2001), majalah Kawanku :Gara – Gara Dhanya (2004),Hand Phone Merah Imel (2004), Ramadhan Kali Ini (2005), majalah Go Girl : Plagiat (2004), majalah Aneka Yess : Rahasia Rani (2005), Kado Ulang Tahun Mama (2005)dan lain – lain. Cerpennya Sebuah Jurnal Dari Masa Depan menjadi The Best Three Cocling penulisan cerpen majalah Kawanku (2004). Salah satu puisinya :


Bila Cintamu Pergi

pernahkan engkau rasa jiwamu melayang entah ke mana,

sedangkan ragamu tetap menjadi penghuni dunia yang tinggal dan menuju mati?

itulah rasanya bila cintamu pergi...

hatimu bagai tercabik dua,

dan bagian yang lebih besar ikut mengabur bersama cinta yang tlah berlalu,

meninggalkan secuil potongan yang lebih kecil

dengan memori dan kenangan indah yang kini terasa pahit...

ya, inilah penderitaan terbesar

yang bermula dari sebuah keagungan cinta...

lalu saat perlahan kau coba kuatkan diri,

satukan semua keping hati yang tlah hancur,

saat itulah kau sadari,

ia tidak benar-benar pergi,

ia akan abadi,

dalam potongan kenangan yang muncul di sudut-sudut kehidupan...

saat itu kau akan tersenyum,

dalam tangis...


Bogor, 21 November

Kiki Turki


Lahir di Cirebon, 23 Januari 1979. Beberapa Puisinya terdokumentasi dalam bunga rampai Jiwa-Jiwa Mawar, Pesona Musim Gemilang II (Perempuan penyair Indonesia II). Pernah menjadi Juara I Lomba Cipta Puisi Religius Tingkat Nasional yang diadakan oleh STAIN Purwokerto pada tahun 2002. Menulis puisi di beberpa media massa dan kini menjadi salah satu staf pengajar di SMP Negeri 2 Losari Cirebon Jawa Barat. Puisi - puisinya antara lain :


Surat Untuk Kekasih I


Di malam sunyi ku terbangkan daun-daun doa

Sampaikan pesanku pada-Mu ?

Kekasih, aku alpa pada-Mu

Tapi tidakkah Kau ampuni aku


2004


Surat Untuk Kekasih II


Kekasih, hari ini aku marah pada-Mu

Lima kali aku menelpon-Mu

Dan dua kali aku sms pada-Mu

Tapi Kau acuhkan aku


2004


Surat Untuk Kekasih III


Kekasih ….

Hari ini aku menelpon-Mu kembali

Jawablah walau sekedar veronica !


2004



Surat Untuk Kekasih IV

Semakin aku mengingat-Mu

Semakin aku rindu pada-Mu

Kekasih, aku tak mau bercerita selain pada-Mu

Karena Kau kekasih !


2004

Hasan Bisri BFC


Lahir di Pekalongan, 1 Desember 1963. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (1989) kemudian menempuh pendidikan lanjutan di Fakultas Film dan Televisi Queensland University of Technology, Brisbane. Selama bekerja di TPI banyak memperoleh kesempatan workshop dan seminar penyutradaraan dan penulisan skenerio di mancanegara (Jepang, Singapura, Malaysia, Australia). Antara lain mengikuti Scriptwriting workshop : Serial Drama for Social Development di Neval (1997). Salah satu Dewan Pendiri Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Tulisannya berupa artikel opini,feature, penelitian, wayang mbeling, humor, cerpen, puisi, skenario, esai, resensi Film dimuat di berbagai media massa seperti di Republika, Gadis, Jawa Pos, Surabaya Post dan lain - lain. Antologi Cerpen dan Puisinya Himpunan Pencinta Cerpen dan Puisi (1985), Paradigma(1987), Gumaman dari Balik Layar 1 (1993), Trotoar (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Resonans Indonesia (2000), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (2000), Graffiti Imaji (2002). Beberapa skenarionya diproduksi untuk Asia - Pacific Broadcasting Union, UNESCO dan Unicef. Aktif mengikuti diskusi sastra dan budaya serta baca puisi di Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand Selatan, Serawak, Brunei Darussalam. Salah satu puisinya :


200 Tahun Mencari Cinta


karena asyik memuja nafsu dan berhala

maka Adam dan Hawa diturunkan dari surga

dan musuhmusuh manusia

memisahkan mereka


inilah kisah cinta abadi

manusia pertama

200 tahun mencari cinta

khuldi mengantarkannya

pada sepi paling abadi


inilah kisah abadi

hamba yang lalai dan lupa

200 tahun mencari cinta

di sudutsudut dunia

di puncakpuncak semesta


dan Tuhan tak pernah menguji

melebihi kekuatan hambanya

maka Jabal Rahmah

menjadi Puncak Cinta

setelah 200 tahun dipisahkannya.


2004

Fina Sato



Lahir di Subang, 16 Februari 1984. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung. Menulis cerpen, naskah drama, esei, sajak dan membuat drawing. Aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung, MnemoniC-gank mnuliz-, Komunitas Selasar, Ruang Aksara , Komunitas Babad Bumi, dan melukis di Sanggar Ligar Sari Baksil, Bandung. Beberapa karyanya perrnah dimuat di Leterat, Raja Kadal-Jurnal Zine- BEN! Media Luar Biasa, Qalam Rata, Majalah Sastra Horison, Pikiran Rakyat, Suara Pembaharuan, Surat Kabar Dinamika dan Kriminal (Lampung), Mjalah Budaya Aksara, Jurnal Sundih (Bali), cybersastra net, penulislepas com, sarikata com, juga antologi puisi bersama Dian Sastro for President - End of Trilogy-(2005), ROH-Kumpulan Puisi Penyair Bali - Jawa Barat (2005), dan Sebuah Kado Pernikahan-Kumpulan puisi dwitunggal bersama Dian Hartati (2005). Cerpennya “Lelaki Dipopor Senapan” masuk 13 cerpen terbaik dalam Sayembara Cerpen Suara Mahasiswa 2005. Salah satu puisinya :


Kuserahkan Tubuhku Pada Kesunyian


dan bila jalanan, lampu-lampu kota

berteriak lagi, yang tersisa kemudian hanyalah serpihan luka

di ujung bibir yang menggigir


tiada suara yang mengeruh sunyi

tak lagi jawab memecahkan gendang sunyi tubuh

yang terperangkap terali


malam ini di dingin tubuhmu yang berbalut kesunyian

kuserahkan tubuhku pada tanya

(tubuhku dan tubuhmu)

sebagian nisan yang berlumut hitam

dalam permainan tuhan


terus bisu

tak selalu sisakan perih mengadu

lalu tersenyum dalam dekapan

pelan kelam


(dan tubuh kita)

masih bermain pada tanya


bumi singgah,2004

Boufath Shahab


Lahir di Jember, Jawa Timur, 22 Maret 1967. Meski jarang di publikasikan di media cetak, kecuali pernah dimuat di harian Sinar Harapan, tapi terus saja menulis. Sejak dari Bali hijrah ke Jakarta, bermain musik di beberapa cape’ dan sempat bergabung di teater Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaet. Selama lima tahun sejak tahun 1997 mengadakan perjalanan berkeliling dan bekerja di beberapa Negara Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa, dan terakhir di Australia. Kembali ke Jakarta pada tahun 2002, bersama beberapa teman mendirikan komunitas Mentereng Dewan Sastra Gang Masjid itu sekali dalam seminggu menggelar acara warga sekitar. Kini menetap di Bandung, bekerja di sebuah toko buku. Berniat untuk mulai aktif mengiring puisi-puisi ke media massa. Salah satu puisinya :


Kau Tahu Sihir Waria ?


jika sekali saja kau kerlingkan mata

akan kusihir dunia menjadi semesta canda dan tawa

pernahkah kau berpikir tentang ruh perempuan yang terjebak

di sekujur badan lelaki, karena kesalahan malaikat pengatur jasad ?

maka bermain-mainlah di kedalaman kelaminku

aku akan telanjang bersama kupu-kupu

atau jika kau mau, aku akan menjadi seekor kupu-kupu yang telanjang bersamamu

mungkin akan kau temukan bekas-bekas air mata bahagia ibu

ketika pertama kali aku mampu mengeja namaku

dan ia menghadiahiku sebutir bola yang penuh warna

kudekap perut ibu : ibu, aku tak bahagia

aku merindukan sebuah boneka


kini kusimpan bola itu di lemari tua

bersama tetes-tetes air mata ibu, dan seonggok tubuh perkasa yang tak pernah kuminta

karena kelak jika ada yang mengerlingkan mata, bagai kotak pandora yang terbuka

sihirku akan merajalela, penuh canda dan tawa


Bandung-Jakarta, Des. ’2005

Asep Pram ( Asep Sopari )


Lahir di Cianjur tahun 1979. Alumnus jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Belajar kepenulisan di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) dan Komunitas Sastra Bandung Utara (KSBU). Puisi-puisinya pernah dipublikasikan di media massa, dan dibukukan dalam Roh (Antologi Puisi Penyair Bali-Jawa Barat) dan Rumah di Langit (stensilan). Salah satu puisinya :



Episentrum


tiba-tiba kita menjelma pejalan

seperti kereta ringkih yang

meringis di jembatan besi

merasakan beban muatan yang

dikemas di pundak bagasi.


semalaman jari-jari kaki terjaga

menyusuri semak gelap taman-taman kota,

mengadukan letih pada patung

yang membatu di pinggir trotoar.


langkah kita terus melaju

melewati deretan pohon dan tiang listrik,

lalu mengemis ketegaran pada tiang reklame

yang menawarkan bijih embun.


kita tak hendak menuju ke suatu tempat

tapi sekadar menuruti naluri yang

begitu saja hadir tanpa diundang.

kita pun tak hendak mencari apa-apa

selain membiarkan jiwa bergerak bebas

di jalan-jalan lengang yang ditinggalkan tuannya.


di antara bayang tiang lampu taman

kita menemukan wajah buram diri sendiri

tepekur menghitung jarak yang telah dilalui.

perjalanan ini tak pernah menjanjikan sesuatu

selain bayang-bayang tubuh sendiri

di saat tubuh kerabat yang lain tergolek

di papan catur menunggu siang.


itu saja cukup, kita tinggal mengurainya

menjadi tafsir-tafsir lain.


Oktober 2005

Aen Trisnawati


Lahir di Subang Jawa Barat tahun 1982. Beberapa karyanya berupa puisi, cerpen, dan esai pernah dipublikasikan di beberapa media massa. Masih aktif bersastra di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), Komunitas Sastra Bandung Utara (KSBU), dan Mnemonic ~Geng Menulis. Salah satu puisinya :





Mimpi Basah



mengendapkan kerinduan

pada dinding kamar, pada detak hujan, pada dingin

yang menyeka malam menjadi malam.

suara batuk tertancap di gemuruh

menjadi sunyi


menyimpan kerinduan

pada sebotol air putih

kemudian kuteguk

menjadi bayangbayang

menjelma lingkar matamu

hingga masuk ke kantung kemihku


malam kian sunyi

kutitipkan puisi rindu

di atas bantal biru

lalu mengecup bayangmu dan bergumam pelan

“selamat malam”

dan lelap resah hingga basah


BumiKembara, Desember 2005

Ahmad Syam'ani


Lahir di Banjarmasin, 14 Februari 1958. Puisi - puisinya dimuat dalam Antologi dan buku puisi antara lain : “Dahaga Banjarmasin Post “ dan “Sketsa Penyair berbagai Angkatan“ Banjarmasin, Bulletin Sastra Edisi III /Jan/04 & Edisi IV /Feb/04 oleh Forum Sastra Kita Subang, Bulletin Sastra Edisi Perdana /Jan/05 oleh Rumah Sastra. Pernah menjadi Ketua merangkap Bendahara Forum Pujangga Venus / Forum Sastra Kita (29 Juni 2003) , Forum Sastra Kita (2004), dan Bendahara Forum Sastra Pojok (15-01-05), Bendahara Bulletin Sastra, Rumah Sastra (01-01-06). Salah satu puisinya:


Syair Perempuan


Kota bergerak mencari kata-kata

Lewat panggung pentas dalam bahasa mata

Memikat

Orang-orang di sini masih menjadi jam

Tidur

Penuh sandiwara murahan


Lihat, salam hangat perempuan

Lentik matanya

Ketika sedikit kata-kata menari

Sampai jejak pintu pentaspun memanggil

Namanya, dengan tekun


Dengarlah, robekan tepukan mengucurkan

Teriakan, ada senyuman diperdengarkan

Untukku dan lampu-lampu kehilangan warna

Kehangatannya, kerinduannya

Sampai kudengar kau mengigau di luar teras

Puisi


Kota-kota kabupaten melewati beribu tapak

Pohonan merah

Kau yang mengatur ruangan kata

Dalam gerak seni

Tanpa kehilangan kodrat.


Subang, 25 September 2005

Ellis Reni Artyana


Lahir di Sintang, 21 November 1986. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sastra Indonesia, UPI. Aktif di UKM Teater Lakon UPI. Salah satu puisinya :






Metamorfosis



Tetapkah harus kukatakan
bahwa hidup adalah pekik daun di malam hari
yang perlahan tertimbun salju bercampur ragu
Kemanakah gerombolan kepik-kepik
yang dengan binal menari demi runtuhnya awan
sedangkan ranting menyulut dendam di antara mereka
Lalu anak-anak kita berlari menuju mata air
yang kini perlahan memerah
Lalu anak-anak kita perlahan berkerut dahi
yang cerah tak terpahat padanya

Lalu kemanakah kita yang dulu itu?
Tertimbun saljukan?
Atau menjelma kepik-kepik binal?

Endang Supriadi


Penulis puisi dan cerpen sejak tahun 1983. Karya - karyanya dimuat dipelbagai media cetak pusat dan daerah antara lain : Republika, Kompas, Horison, Suara Karya, Media Indonesia, Lampung Post,Tempo, dan lain-lain Juara I Lomba Cipta Puisi SPSI Tingkat Nasional (1992), harapan I Lomba Cipta Puisi Hutan Ebonni Tingkat Nasional (1994). Sepuluh terbaik Cipta Puisi Batu Beramal I (1994) Juara I Cipta Puisi Batu Beramal II (1995), Sepuluh Terbaik Lomba Cipta Puisi Dewan Kesenian Mojokerto (1998), Juara Hara panCipta Puisi Seratus Tahun Bung Karno (2001), Sepuluh Terbaik Lomba Cipta Puisi Seratus Tahun Bung Hatta (2002), Juara Tiga Lomba Puisi Krakatau Award (2002). Antologi Cerpen dan Puisi bersama antara lain : Sembilan Penyair Menatap Publik, Batu Beramal I dan II, Kebangkitan Nusantara I dan II,Cerita dari Hutan Bakau, Nuansa Hijau, Getar, Sahayun, Dari Bumi Lada, Songket I, Trotoar, Mimbar Penyair Abad 21, Kaki Langit Kata - Kata, Antologi Puisi Indonesia KSI (1997), Resonansi Indonesia, Datang Dari Masa Depan
Gelar Esai & Ombak Sajak Anno Kompas (2001), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir, Nyanyian Integrasi Bangsa, Lampung Kenangan (2002), Narasi Dari Pesisir (2003). Dan diundang Beberapa acara temu sastra di Indonesia. Salah satu puisinya :


Melucuti Ingatan Terhadapmu


melucuti ingatan terhadapmu, telah menghancurkan

tembok yang kubangun buat membentengi dirimu

dari api dunia. kau tak bisa seperti urat ranting

yang ingin searah dengan dahan. kau adalah arus

yang selalu mengikuti ke mana induk air mengalir


melucuti rindu terhadapmu, aku telah kehilangan

sejuta kata-kata yang muncul dari benih yang

kutanam selama ingatanku melekat pada matamu,

pada rambutmu juga pada ranjangmu yang bergerak


kau bukan secangkir kopi bagi udara yang dingin

kau adalah perahu yang semestinya mudah kudayung

ke manapun tujuanku, tapi kau lebih dari apa

yang kuduga. jejakmu mengandung api, panas bila

kususuri. ucapanmu mengandung pasir, perih bagi

telinga dan mata


pergilah kau duri bulan

menjelmalah sepi bagi semua sudut di jiwaku.


Citayam, Pebruari 2004

Dian Hartati



Lahir di Bandung, 13 Desember 1983. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Karyanya dimuat di Radar Bandung, Literat, Suara Indonesia, Priangan, BEN ! (media luar biasa), Majalah ESQ Nebula, Pikiran Rakyat, Suara Karya Minggu, Aksara, Bandung Post, Ganesha, Dinamika & Kriminal, Pakuan Raya, Solo Post, Minggu Pagi, Horison, Bali Post, dan lain-lain. Antologi bersama Dian Sastro for President # 2 Reloaded (2003), roh-kumpulan puisi penyair bali-jawa barat (2005), Pagi di Buntiris (2005). Bersama Fina Sato berjudul Sebuah Kado Pernikahan (2005) dan kumpulan puisi tunggalnya berjudul Nyalindung. Tergabung dalam komunitas ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra) UPI,Klab Nulis Tobucil, MnemoniC-Gank Mnuliz-, Selasar, Ruang Aksara, dan Babad Bumi. Kini bergiat dalam penerbitan media independent Qalam Rata sebagai redaktur puisi. Salah satu puisinya :


Perempuan Pemetik Teh


iringiringan perempuan memecah pagi sunyi

langkah tanpa alas kaki mengawali keras kehidupan

di punggungpunggung mereka melekat kantungkantung

capingcaping menyembunyikan wajah mereka dalamdalam


di seterik matahari

tangantangan gemulai memetik pucukpucuk kerinduan

mengemasi semua daundaun teh muda

memenuhi tanggung jawab pemilik hari


semua usai di lelah senja

melepaskan capingcaping geriapkan harapan hari esok

meracik setiap lembarlembar kedukaan

memintal khas aroma pagi


SudutBumi, 2005