Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Barat

Kamis, 04 Agustus 2011

Anggie Sri Wilujeng


Lahir di Tasikmalaya 7 Nopember 1967. Karya-karya puisi tergabung dalam Antologi Puisi “Nafas Gunung” (1997 Biduk Bandung ), Antologi Cerpen Sunda “Ti Pulpen Tepi Ka Pajaratan Cinta” (2002 Kiblat Bandung ), Antologi Puisi “Enam Penyair Menghisap Knalpot” (2002 Sanggar Sastra Tasik), Antologi Puisi Sunda “Langari” (2002 Panglawungan Pangarang Kiwari), Antologi Puisi “Ciamis Dalam 364 Sajak” (2006 Kelompok Belajar Mengarang Sastra Galuh), Antologi Puisi “Tanah Pilih” (2008 Puisi Temu Sastrawan Indonesia 1, Jambi), Antologi Puisi Tunggal “Secarik Luka” (2008 Wahana Iptek Bandung)
Disamping menulis juga aktor dan sutradara Teater. Aktris terbaik pada Festival Drama se Jawa Barat 1996 di Bandung. Sutradara garapan kolosal 17 komunitas teater di Tasikmalaya kerjasama dengan Teater Tetas Jakarta (Ruwat Bumi-Anggie Sri Wilujeng) 2002. Pesta Monolog Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marjuki Jakarta – Naskah, aktor dan sutradara dalam judul “Dewi Kunti” 2006.
Mengikuti workshop Puppet Project Yayasan Kelola kerjasama Australian dan American Fondations di Padepokan Bagong Kusudiardjo Yogyakarta 2006 Diundang dalam Temu Sastrawan Indonesia 1 Jambi, 2008 Mengikuti berbagai Kongres Bahasa, Muktamar dan Holaqoh Budaya.


DUNIA KITA SEDERHANA

Bersamamu menatap dunia, memandang esok pada impian
yang lahir ketika terjaga, menikam masa lalu berdebu yang kerap
mengangkangi langkah, demikian panjang obrolan kita,
sepanjang gelak tawa dan isak tangis, kemabukan dan gairah
yang melayang diterpa angin, aroma keringat dan airmata,
rindu dan cemburu adalah batu dan kerikil menakjubkan
yang berloncatan dari batin kita.

Dunia kita ternyata sederhana, senyuman di pagi hari
telah mampu membunuh kemiskinan, memanjangkan keindahan hari
dan membuat senja berpelangi. Senyuman melahirkan kemerdekaan.
Mengalirkan airmata menjadi sungai, menanam lapar dan dahaga
menjadi sawah, perih dan sakit menjadi bukit, gundah dan gelisah
menjadi nyanyian yang mesra.

Bersamamu menatap dunia, mengemas kenangan dan khayalan,
memasuki hari-hari berkabut, waktu-waktu berdebu, bermacam musim
dan cuaca, mencuri keinginan tuhan sekaligus menggadaikannya.

Kita tetap bergandengan, memerdekakan senyuman dan tangisan ,
meminang pagi mengencani malam tanpa maskawin tanpa perjanjian,
saling menghamili dunia dengan indah.


TUNGGULAH AKU

Tunggulah aku, pada bara batu-batu, liukan pohon diterpa angin,
tangisan hujan yang membasahi rumputan, semua itu membuat perjumpaan
menjadi berkilau, airmata menjadi kembang api pada dunia yang seringkali
merintih. Aku tetap berdiri ketika mataku suram menyaksikan bulan lindap,
malam mengutuk bayi-bayi menjadi amarah yang akan terus hidup di setiap kepala.

Tunggulah aku, diamlah bersama embun pagi yang belum terjangkau
matahari, diamlah dalam kesejukan dimana waktu tak mengenal siang tak
mengenal malam, tak mengenal tua tak mengenal muda, semuanya
bersamaan, seperti perjumpaan kita.

Tunggulah aku, di ujung keinginan yang menyalakan senja, membebaskan cahayanya dari himpitan batu-batu. Biarkan musim terus berganti, tetapi pelangi adalah warna rahasia kehidupan yang harus kita masuki.



MUSIM KEMARAU DI NEGERIKU

Coba dengarkan desau angin yang risau, ketika awan terpenjara di langit,
tak mampu menurunkan hujan. Burung-burung kehilangan sarang,
karena pohonan meradang. Gunung merenung, hari-hari terkubur debu
yang menyesakkan. Sementara sawah-sawah seolah pasrah
pada wajah petani yang resah.

Coba lihat ikan-ikan menggelepar memburu sungai yang meradang,
kehilangan lubuk kehilangan ceruk. Batu-batu hanya bergulingan,
saling berbenturan, membilang warna pelangi yang juga tak kunjung datang.
Lalu siapakah yang membakar hutan, membakar ladang, membangun
longsor, membangun gempa, meledakkan tanggul-tanggul, meledakkan
kota-kota, meledakkan harapan-harapan?

Sementara anak-anak kita hanya berlarian ke mall, diskotik, rumah bordil,
ramai-ramai menyuntikkan darah dan nanah pada tubuhnya, menghisap
serbuk duka dan butiran airmata pada bong-bong berkarat, melinting
dan membakar masa depan.

Dan ayah kita sibuk menumpuk peti uang di kepalanya, menggadaikan diri
dalam lekukan paha perempuan, menukar tanah dan sungai dengan
pabrik-pabrik beracun, menawarkan buku-buku sejarah palsu, dongeng
pengantar tidur manusia tolol, menjual keringat anak-anaknya sendiri
yang disajikan dalam setiap perjamuan.


SEMUA MENUJU BUMI

Daun-daun berguguran, kata-kata berhamburan,
batu-batu beterbangan. Hari-hari membeku ketika akar-akar
pohonan menjalar mencengkeram kepala, melilit angan,
membutakan bumi.

Kegelapan membuat catatan bersama angin,
mengirim deru hujan, gelombang lautan.

Kalaulah yang bersembunyi merajai kepala mau berjudi denganku,
akan kuberikan seluruh siang dan malamku untuk memunguti kembali
tebaran dedaunan yang berserakan di bumi.hingga hari-hari mengalir,
menelusuri kembali garis-garis kehidupan


SAJAK RINDU 1

Aku telah mabuk dalam hasrat yang berontak
Gelisah dan rindu menjadi arak dikerongkonganku
Teriakan dalam dadaku menjadi doa kesetiaan
Pada matahari yang menebarkan segala warna cahaya
Pada langit yang membentangkan segala gairah dan senyuman

Aku keluar dari dalam diriku
Menghantam hasrat membatu dalam batok kepala
Tapi suaraku menggenang dalam kesunyian
Sementara deru angin mengerat malam
Dan semua peristiwa menjadi gemuruh hujan
Yang kuminum dalam setiap percakapan

Gelisahku memanjang seperti jalanan lengang
Tak henti aku memanggil-manggilmu
Ketika malam menjaring bintang-bintang
Dan angin menerbangkannya padamu
Waktu begitu rahasia mengitari bumi
Menyusup hari-hari dari segala musim bertemu


SAJAK RINDU 2

Deru angin menasbihkan sunyi dalam tapakur rumputan
Bayang-bayang bulan menjaring senandung langit
Menyempurnakan khusyuk kerinduan
Namamu bersayap mengitari relung malam mengurai sinar bulan
Pada kabut dan dedaunan yang rebah

Kita saling menyapa dalam jarak
Menerawang wajah pada ribuan kata dan bentangan sunyi
Tawa dan airmata menjadi kerinduan
Tak henti mengukir batu-batu dan menguntai bunga

Kaukah yang berdiri di ufuk dengan dada berpelangi?
Berkirim kobaran angin pada helaian rambut
Yang terus tumbuh menghutan di kepalaku
Berkirim senandung hujan
Yang terus berjatuhan dan menyungai kata-kata dalam puisi

Kerinduan mengkhusyuk pada setiap celah waktu
Pada setiap musim dimatamu yang menyibakkan tabir
Pada beragam kisah yang mengalir
Sepanjang matahari dan bulan mengembun
Sementara tabir langit membiru dingin
Membentang dikeluasan malam
Kesunyian lindap
Bulan berumah dalam benak meski malam teramat gulita


DIANTARA MUSIM

Musim menabur kata, menggugurkan daun, Menciptakan
gairah, mencatat kenangan, menyimpan angan.Hari-hari tumbuh
diantara perbincangan dan perjudian waktu

Dunia menerjemahkan wajahnya dalam bayang-bayang matahari
Berjalan menyusuri siang dan malam. Bersama butiran embun
mencatat syair pada helai rumputan. Batu-batu menjelma puisi,
kata-kata meruang di cakrawala

Lingkaran matahari berderak mengitari bumi
Memunguti lembaran sejarah, bergulir di batas angan
Diantara impian dan kemerdekaan
Musim mengalir dan terus bergerak


PADA WAJAH KOTAKU YANG KURINDU

Lelehan keringat pada wajahmu yang lebam, membentuk butiran waktu
yang mengental di hatiku. Gigimu yang kelabu memperlihatkan masa muda
tumbuh dari jaman yang gelisah. Waktu mengikuti angin menentukan
langkah kaki, kau berdiri telanjang dada menantang matahari, lalu kau
berlari mengitari hari, memaksa siang turun ke jalan.

Dari bibirmu yang kecubung, kedukaan panjang mengucur, duka ilalang
di tanah gersang. Kau menunggang angin, menembus waktu menembus
ruang, mengejar kembali masa muda yang meninggalkanmu. Memunguti
serpihan kenangan yang tercecer, mengemasnya lalu kau bakar dalam airmata. Apakah kau telah menyelesaikan kepiluanmu?

Pada wajahmu yang lebam, gigimu yang kelabu dan bibirmu yang kecubung,
kulihat wajah kotaku yang kurindu, dengan barisan gigimu berunjuk rasa
menentang para pecundang, kulihat juga wajah petani berselubung cemas, pemberontakan telah merusak sawah dan ladang, merusak hutan dan gunung, merusak harapan dan impian.


SATU-SATUNYA JALAN ADALAH MERDEKA

Di negeriku tercinta, di tanah subur dan alam permai.
Kudengar ratapan burung-burung kehilangan sarangnya,
kudengar jeritan petani-petani kehilangan sawahnya,
kudengar tangisan anak-anak gembala kehilangan kerbaunya,
kudengar rintihan sungai-sungai kehilangan airnya,
kudengar teriakan hutan-hutan kehilangan pohonnya.

Di negeriku tercinta, negeri adil makmur dan sentausa.
Kulihat kemiskinan telah menggiring seseorang memasuki penjara,
tetapi kutahu tak ada kesakitan yang lebih nyeri dari kemiskinan yang panjang. Kemarau yang meradang di jiwa-jiwa gersang.
Kurasakan kengerian, ketika setiap orang menghakimi kemiskinan,
bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah kesabaran.
Bukan. “Satu-satunya jalan adalah merdeka”,
seru burung-burung.

Suara-suara mereka mengendap di telinga,
tumbuh mengakar ke kepala.
Lalu mereka beramai-ramai menampung airmata,
mereguknya lalu menyemburkannya ke udara, membakar kemiskinan, memberondongnya dengan senjata, meledakkan hati,
sumpah serapah yang paling kejam, ternyata tak menyelesaikan.

Satu-satunya jalan adalah merdeka.


SAJAK SUNYI

Kusembunyikan segala duka, dosa yang mengangkangi setiap
langkah kaki, gelisah yang senantiasa merasuki pemukiman nurani,
tak ada senyum bagi rasa sinis, tak ada tangis bagi senja yang terus
menggerimis, dedaunan hanya menadah aroma sajak basah pada reranting,
ketika semua dinding dan pembaringan melumut, ketika angin berputar pada
helaian rambut dan menjelma sunyi di kedalamanku.

Kusembunyikan segala duka, ketika pintu-pintu terkunci, matahari hanya
mengintip di celah tingkap. Ruang gelap mengikatku, kesunyian menyerbu
darahku, merajah belulangku, menyelesaikan segala kegilaannya di kepalaku.
Dan akupun menggila, menangis sekaligus tertawa, melengkapkan deru
yang menghumus dalam dada dan melumat kesadaranku.