Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Barat

Jumat, 27 Mei 2011

Restu Ashari Putra


Lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Bergiat di Komunitas Rumput dan Majelis Sastra Bandung (MSB). Kini tengah merampungkan studinya di Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung sambil terus mengasah menulis puisi dan prosa. Puisinya singgah di antologi “Empat Amanat Hujan” (DKJ, 2010) dan cerpennya dalam antologi “Bersama Gerimis” (MSB, 2011).
Alamat : Jl. Merkuri Utara VIII No.1 Margahayu Raya, Bandung
Email : restu_freedom@yahoo.com
Telepon : 085781660989

KERENCENG, 1
-pasukan rumput

semestinya kami beterbangan
di kaki bukit kami menyiapkan perbekalan
namun tak ada yang lebih kekal ketimbang kenangan
kami membentak-bentak malam. menyingkirkan dahan. di mata kami hanya ada puncak
dan kami tahu cuaca yang agak pucat adalah sebagian yang
kami sebut perjalanan. semak-semak melilit kaki. pacet bergelayutan di kaki kami.
lalu kami bagai ular berduyun-duyun mengendap ke bawah rimbun rasamala.
berjumpalitan. menahan beban yang patah di punggung kami. dan selebihnya
hanya tangkai ilalang yang basah.
kami tak paham dengan perjalanan jauh dan panjang
yang kami mengerti bagaimana kami mengisahkan perjalanan ini
di bawah kabut, di tengah tanah yang kadangkala
bisa membuat mata kami gerimis saat mengingatnya lagi nanti.
O, bukit bukit yang menjadi harapan kami, semestinya kami beterbangan.
pergi. dan tak lagi melihat kenangan.

mei 2011

KERENCENG, 2
--haryanah

sebelumnya aku tak mungkin
menulis perasaan yang paling dingin
dengan tangan ditembus hujan.
daun-daun pun tak bisa kujadikan kertas.
namun malam itu, dengan hati paling gerimis
tiba-tiba tubuhku menyala, bulan yang tadinya
pucat tiba-tiba purnama. dahan rasamala yang
merimbun di sepanjang lereng kemudian
rubuh. aku bagai hendak melumat bibirmu
dan mengekalkannya di lereng ini.
O sayang, api rinduku biarlah berkobar di sepanjang hujan!
dan hujan yang sedari tadi turun bagai serdadu itu
biarlah mengental. aku menyaksikan air coklat tua luruh
menyusur tanah bagai bah. air apakah ini. aku ciduk air-air yang luruh itu
dengan tangkai puspa, lalu tetap saja aku tak bisa menulis rindu.
tak ada lagi yang membekas padaku
kecuali wajahmu yang menyala di puncak ingatanku.

mei 2011

di negeri ini, negeri puisi

hidup begitu panjang
di negeri ini, negeri puisi

setiap anak bebas bertanya
dan mencari jawab sendiri sendiri
tanpa harus takut
seorang ayah atau ibu mengurungnya
di kamar mandi
dan hidup begitu panjang
di negeri ini, negeri puisi
kita bisa mengucap cinta
pada siapa saja. bisa menyayangi
apa saja. membiarkan hidup kita terberai
dan hanyut oleh senyum tawa
seorang kekasih
atau perempuan yang sengaja
tak kita cintai. lalu kita mabuk
dan hidup makin panjang
usia kita memanjang
dari cerita cerita
seputar kegelisahan. tentang sakit
dan nyeri
di negeri ini, negeri puisi
kau dan aku
sepertinya sedang sama berjalan
bagai kurcaci di pantai sepi
kaki kita memanjang
tak berbatas
tak bertepi
lalu kita seperti anak kecil
yang saling bertanya, saling menyanggah,
dan mencari jawab
tanpa harus takut
siapa pun akan mengurung kita
di negeri ini
negeri puisi

januari 2011


sehabis dari manggarai

mulai malam ini
aku belajar menulis surat
undangan kematian
dan mengirimnya pada rumah,
gubuk-gubuk pinggir jalan,
pada lelaki renta
dan tongkatnya yang tua
mungkin nasib semacam angin malam
yang riuh dan berisik mengepakkan sayapnya
menabrak kaleng,
mengetuk tiang-tiang,
kemudian mengganggu tidur
para sopir di terminal
jarum jam bagai kopi hitam
yang selalu membuat mata
tegang dan terjaga
sementara aku
kembali lagi belajar
mengirim undangan
khusus kepada ibu
yang sedang merebus batu
yang tertawa senyum-senyum
dengan bahagia
memerhatikan anak semata wayangnya
melilitkan tali di lehernya
lalu dengan penuh damai
mereka merayakan
makan malam bersama
tanpa lagu-lagu, tanpa nyanyian
dikelilingi anjing-anjing liar
yang lapar. matanya bengis.
mungkin nasib semacam angin malam
yang menendang kardus-kardus
menerbangkan koran-koran
mengapungkan harapan
2011


seperti dendang ujang

ujang, ayo dendangkan lagi
nasib masa depanmu! seru angin
dan riuh lautan kota.

lalu sampai ke mana kau akan mengejar matahari
sedang emakmu rikuh menunggu masakan hari ini
mirip senar gitar yang kaupetik keras sekali sampai merintih
emakmu perih melangkahi tanah kering penuh matahari
menanti ujang kapan datang. emak ingin memasak nyanyian
kesukaan ujang. sebab emak senang ujang telah bisa menciptakan
hari hari sendiri tanpa bantuan angin pagi

setelah lagumu garing ditelan angan-angan
kau diami malam sunyi serupa kamar idaman
yang kautata di pinggir kota laksana rumah baru
padahal kalau kau suka kau masih bisa berbaring
di lobi gedung itu meski ranjang dalam kamar
mengharamkan tubuhmu untuk sekadar terkapar
hanya karena lebih baik kau terbakar atau mati kedinginan

baiklah ujang, lebih baik emakmu tak perlu tahu
bahwa malam ini kau mengumpulkan banyak nyanyian
untuk emak masak bulan depan

tak perlu tahu pula kalau kau lelap semalaman
di depan loket kantor bis malam

2009


tentang sajak muram yang hilang di hilir sungai

dan ricik air mengantarkan ceritanya padaku
sebuah sajak muram yang hilang di hilir sungai di seberang pulau
di sore yang mendung sebelum gerimis hujan
walau bagaimana pun, walau langit murung, aku harus membacakannya
untukmu, sajak-sajak itu:

/beberapa larik untuk kau yang mendung di sore hari

wajahku dibelai belai angin
dan rambutku bergoyang sendiri
tapi tanganku tetap kaku menuliskan airmata
untuk kuhadiahkan
kepadamu
padahal waktu sebentar lagi padam
dan cahaya senja segera tenggelam
haruskah aku
membongkar airmataku sendiri
untuk kuhadiahkan
padamu
agar kau bisa percaya
bahwa aku telah tiada dari tempatmu berdiri
seperti kau melihat maut
menikamku
puluhantahunlalu

sementara langit terus mengirim gerimis
dan angin semakin mengumbar badai
---dari ujung jalan itu tubuhku koyak
kemudian rubuh!

/puisi yang lahir dari airmatamu
--culaiha

dari tanganku tak saja lahir puisi
tapi juga airmata dan beberapa luka
karena dari depok ke kalibata
aku meninggalkan engkau
dengan tubuh derita
--lampu lampu padam
cahaya bulan pudar
dengan kesendirian dan tubuh gemetar
aku terlunta menyusuri sudut malam
pintu pintu stasiun
dari gerbong ke gerbong
puisiku lahir, airmataku lahir
kertas kertas beterbangan
mereka berjalan-jalan sendiri mencarimu
menemuimu di tengah kota, tengah terluka
sedang menatap bulan
dengan mata gerimis
dan hujan
sementara dari tanganku,
lahirlah engkau
memanggil manggil namaku
berulang-ulang, bersahutan
dengan suara senyap ditelan udara malam
kemudian hilang

/sajak yang akhirnya hanyut di alir sungai

aku hanya menjadi bayang bayang
puing puing tubuhmu yang hancur digilas malam
berantakan
ingin rasanya membentangkan tangan
kemudian memeluk angin
mencium bau rumputan
menghirup harum gunung
memandang pohon pohon
yang gemetar digoyang semilir

ingin rasanya memburai burai tangis
ke dalam lautan yang mengalir dari hilir hilir
sungai
sampai aku benar benar bisa melihat wajahmu
dari warna pelangi yang benderang
dari genangan air yang mengucur ke lembah lembah
airmatamu
lalu tersenyum padaku

ingin rasanya aku berputar putar membentuk telaga
menjadikannya muara setiap kesedihanmu
menjadikannya gerak daun daun dan ranting di bukit jauh itu
menjadi milikmu
hingga jikalau daun daun dan ranting pohon itu jatuh
ke arus sungai yang mengalir dari hilir hilir bukitmu
maka aku akan terbawa hanyut ke dalam alir sungai kesedihanmu
yang pedih dan dalam.

2010

Minggu, 22 Mei 2011

Diah Hadaning


Kelahiran Jepara-Pantura, Mei 1940. Serius menulis sejak 1970-an sampai sekarang. Karyanya telah banyak diterbitkan (buku kumpulan puisi), tampil solo, duet, dan antologi bersama. DIHA juga menulis dalam bahasa daerah (Jawa ) berupa gurit (puisi), cerkak (cerpen) dan naskah lakon tradisional. Kegiatannya sekarang, baca puisi di berbagai acara, penjurian, apresiasi dan mengelola WARUNG SASTRA DIHA, sebuah komunitas dialog jarak jauh, melayani berbagai ‘urusan hidup ‘ khususnya sastra. Salah satu puisinya :


Elegi Tanah Merdeka
( Kepada yang Lupa Akan Sumpahnya )

ketika langit penuh jelaga
halangi kedip bintang langit barat
jiwa tualangmu jadi badik dan celurit
menyambar nasib orang-orang
yang tiba-tiba mati langkah
di lorong-lorong kemerdekaan
kau ingat ?
sumpah setia berbilang musim ?
tanah air, nyawa yang dipertaruhkan
anak negeri, darah daging kehidupan
yang menuntut cinta dan kejujuran
sementara era bicara lain
orang besar segalanya serba besar
sampai tertutup nurani peduli
lupa semua hanya titipan
Sang Pemberi Kehidupan
tanpa doa pertobatan
hilang makna harta dunia
sementara orang kecil segalanya serba kecil
masa depan tak lebih gigil
hari-hari perjalanan melelahkan
terjebak antara memburu dan diburu
di padang perburuan tanah merdeka
siapa menangisi negeri melati hilang wangi ?


Cimanggis, 2003 – 2004


Maha Hamparan
di sehampar bentangan semesta serba maha
ada undakan kesetiaan para petani
semua menanam bijihbijih pengharapan

di semilir angin pada angkasa serba raya
tercipta kedamaian buih angan masa datang
tentang pemanjat pohon kelapa
penugalpenugal tanah kasar yang landai

apa yang diinginkan awan
ketika mendung mengantarkan halimun
pekat aroma asap
hutanhutan terbakar
gemunung mati ditinggal zaman bergerak

deras sungai masih dapat kurasakan
ketika air membawa kail pemancing
hanyut bersama batubatu

mereka masih menyisir jejak lokomotif
rel tua berabadabad
karat melamurkan kenangan

di sana,
gegap gempita terdengar
pekikpekik kemerdekaan
lindap pegunungan mengakar masa

SudutBumi, 2005


Kidung dari Rumah Panggung

dibangun dari kayu hitam hutan sisa
peradaban, teritisan batu granit
mampu sembunyikan bermusim rasa sakit
pagi serap bias matahari sisa gerhana
malam serap embun dan hujan asam
sesiapa di dalam
masih harap lusa ada perubahan

sementara anak-anak telah pandai
naik turun di tangga rumah panggung
menebar tawa di udara
menyapa matahari ?
memanggil angin ?
atau mendengar kidung aneh
yang setia mengusap-usap atap

setiap ganti musim
makin terdengar aneh
tulang dan kidung makin melengkung

Cimanggis, 2005

Minggu, 01 Mei 2011

Ardy Kresna Crenata



Lahir di Cianjur, bermukim di Bogor, kuliah di Institut Pertanian Bogor dengan studi Matematika Menyenangi sastra sejak di sekolah menengah terutama puisi.
Alamat Rumah Pak Udin RT 03/06, Kp. Babakan Dongeng, Darmaga, Bogor 16680
HP 085693841985 Alamat E-mail crenata011@yahoo.com


Cahaya, Sebuah Kota

mungkin sudah terlalu jauh aku tersesat di kotamu
hingga tak lagi bisa mengingat, dari arah mana aku datang
dan ke arah mana seharusnya aku pergi. sementara kendaraan
di jalan-jalan, senantiasa memberikan cahaya
bahkan bagi siapa-siapa yang tak lagi mempedulikannya.
aku pun masih senantiasa memberimu cahaya.

aku tak tahu, sampai kapan aku bisa menjadi asing
di tengah-tengah peristiwa yang selalu mengingatkanku padamu.
sampai saat ini, aku hanya bisa meyakini satu hal yang mungkin kekal,
bahwa aku ingin lebih lama bertahan di kotamu,
meski itu berarti tersesat, dan engkau mungkin belum akan
memahami apa yang sesungguhnya di sana kucari.
tak apa. kukira masih akan ada banyak kisah untuk dimaknai,
dan jika pun kelak aku harus menyerah, tentunya hanya kepada apa
yang sungguh-sungguh aku percayai. aku tak ingin cita-cita
begitu saja lenyap, sedangkan untuk membuatnya ada
aku terpaksa mengorbankan banyak kenangan
dan menjadikannya usang. meski matamu belum bisa
menemukan tanda-tanda di mataku, aku akan bertahan.

untuk sebuah janji yang tak pernah ingin kuingkari,
barangkali aku akan mengenang setiap peristiwa yang kutemui,
melekatkannya dalam puisi, lalu memberikannya padamu.
tapi seindah apapun sebuah puisi, hanya akan engkau maknai
di saat engkau sendiri, dan aku hanya akan menjadi bayang-bayang
bagi tubuhmu yang tak setiap saat merindukan cahaya.

aku tak ingin seperti itu. sebab aku memahami cinta
sebagai sesuatu yang nyata. dan jika kita hanya
terus berpura-pura, kita mungkin hanya akan menjadi rahasia
dari peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya tak pernah ada.
jika kesetiaan bisa tumbuh dari banyak pengorbanan,
kuharap kebersamaan kita kelak adalah sebuah tujuan.

maka biarkanlah aku senantiasa memberimu cahaya,
meski mungkin tak setiap saat engkau berada dalam gulita.
aku akan setia menjadi malam bagi sepasang matamu yang lelah,
bagi sebuah kota di hatimu yang merindukan kisah-kisah.

Bogor.April.2011


Malam Bagi Sebuah Kota
: NN

matamu adalah malam bagi sebuah kota
di mataku, tempat lampu-lampu
redup menyala, menyambut siapa saja
yang merasa keyakinannya goyah.
di sana, jalan-jalan hanya sesekali lengang,
hujan seperti enggan berhenti,
dan percakapan banyak tertinggal
di setiap keberangkatan
yang tiba-tiba. persis, seperti itu lah
mataku menerjemahkan matamu:
sebuah keberangkatan yang tiba-tiba.

matamu adalah malam bagi peron-peron
di mataku, yang kehilangan getaran
di setiap keberangkatan yang tiba-tiba.
di sana, aku terjebak antara tetap tinggal
atau menyusul mereka yang
telah pergi. sementara jarak tak
pernah lagi menunggu. waktu
melangkah semakin cepat. dan sebuah
jawaban dari apa yang tak pernah
kutanyakan, datang begitu saja,
mengenalkan dirinya sebagai kematian.

aku lalu menyadari, tak mungkin
menghapus kejadian yang pernah ada
tanpa mengalami kembali
kejadian itu. sedangkan bau dari
kenangan yang membusuk
hanya akan menjadi saksi atas hancurnya
sebuah keyakinan yang mati-matian
kupertahankan. lalu tak lama,
sebuah kota akan patuh
pada kesia-siaan. kehidupan akan
kembali jadi sekeping uang
yang menolak dibelanjakan.
perjalanan terhenti. kematian
bermalam di tempat-tempat yang
ditinggalkan. dan percakapan
tak lagi terdengar. dan
hujan terasa asing.

matamu, adalah malam bagi sejumlah
kenangan yang seharusnya kulupakan.
dan sebuah janji yang dulu ada,
akan selalu ada, meski tak mungkin
kini untuk kita memenuhinya.

Bogor.Maret.2011


Api dan Kayu

benci dan cinta diciptakan
dari api yang sama. dan kita adalah
kayu-kayu yang terbakar
dan kelak menjadi abu.

April.2011