tag:blogger.com,1999:blog-15401709940103738262024-03-13T23:53:51.718-07:00Jawa BaratArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.comBlogger30125tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-29911625693136827822011-08-04T18:01:00.000-07:002011-08-04T18:12:24.995-07:00Anggie Sri Wilujeng<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-VQICc008DRQ/TjtB-tmINLI/AAAAAAAADbQ/SNSFDj7iqTw/s1600/Anggie%2BSW.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 148px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-VQICc008DRQ/TjtB-tmINLI/AAAAAAAADbQ/SNSFDj7iqTw/s200/Anggie%2BSW.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5637171904231519410" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Tasikmalaya 7 Nopember 1967. Karya-karya puisi tergabung dalam Antologi Puisi “Nafas Gunung” (1997 Biduk Bandung ), Antologi Cerpen Sunda “Ti Pulpen Tepi Ka Pajaratan Cinta” (2002 Kiblat Bandung ), Antologi Puisi “Enam Penyair Menghisap Knalpot” (2002 Sanggar Sastra Tasik), Antologi Puisi Sunda “Langari” (2002 Panglawungan Pangarang Kiwari), Antologi Puisi “Ciamis Dalam 364 Sajak” (2006 Kelompok Belajar Mengarang Sastra Galuh), Antologi Puisi “Tanah Pilih” (2008 Puisi Temu Sastrawan Indonesia 1, Jambi), Antologi Puisi Tunggal “Secarik Luka” (2008 Wahana Iptek Bandung)<br /></div><div style="text-align: justify;">Disamping menulis juga aktor dan sutradara Teater. Aktris terbaik pada Festival Drama se Jawa Barat 1996 di Bandung. Sutradara garapan kolosal 17 komunitas teater di Tasikmalaya kerjasama dengan Teater Tetas Jakarta (Ruwat Bumi-Anggie Sri Wilujeng) 2002. Pesta Monolog Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marjuki Jakarta – Naskah, aktor dan sutradara dalam judul “Dewi Kunti” 2006.<br />Mengikuti workshop Puppet Project Yayasan Kelola kerjasama Australian dan American Fondations di Padepokan Bagong Kusudiardjo Yogyakarta 2006 Diundang dalam Temu Sastrawan Indonesia 1 Jambi, 2008 Mengikuti berbagai Kongres Bahasa, Muktamar dan Holaqoh Budaya.<br /><br /></div><br />DUNIA KITA SEDERHANA<br /><br />Bersamamu menatap dunia, memandang esok pada impian<br />yang lahir ketika terjaga, menikam masa lalu berdebu yang kerap<br />mengangkangi langkah, demikian panjang obrolan kita,<br />sepanjang gelak tawa dan isak tangis, kemabukan dan gairah<br />yang melayang diterpa angin, aroma keringat dan airmata,<br />rindu dan cemburu adalah batu dan kerikil menakjubkan<br />yang berloncatan dari batin kita.<br /><br />Dunia kita ternyata sederhana, senyuman di pagi hari<br />telah mampu membunuh kemiskinan, memanjangkan keindahan hari<br />dan membuat senja berpelangi. Senyuman melahirkan kemerdekaan.<br />Mengalirkan airmata menjadi sungai, menanam lapar dan dahaga<br />menjadi sawah, perih dan sakit menjadi bukit, gundah dan gelisah<br />menjadi nyanyian yang mesra.<br /><br />Bersamamu menatap dunia, mengemas kenangan dan khayalan,<br />memasuki hari-hari berkabut, waktu-waktu berdebu, bermacam musim<br />dan cuaca, mencuri keinginan tuhan sekaligus menggadaikannya.<br /><br />Kita tetap bergandengan, memerdekakan senyuman dan tangisan ,<br />meminang pagi mengencani malam tanpa maskawin tanpa perjanjian,<br />saling menghamili dunia dengan indah.<br /><br /><br />TUNGGULAH AKU<br /><br />Tunggulah aku, pada bara batu-batu, liukan pohon diterpa angin,<br />tangisan hujan yang membasahi rumputan, semua itu membuat perjumpaan<br />menjadi berkilau, airmata menjadi kembang api pada dunia yang seringkali<br />merintih. Aku tetap berdiri ketika mataku suram menyaksikan bulan lindap,<br />malam mengutuk bayi-bayi menjadi amarah yang akan terus hidup di setiap kepala.<br /><br />Tunggulah aku, diamlah bersama embun pagi yang belum terjangkau<br />matahari, diamlah dalam kesejukan dimana waktu tak mengenal siang tak<br />mengenal malam, tak mengenal tua tak mengenal muda, semuanya<br />bersamaan, seperti perjumpaan kita.<br /><br />Tunggulah aku, di ujung keinginan yang menyalakan senja, membebaskan cahayanya dari himpitan batu-batu. Biarkan musim terus berganti, tetapi pelangi adalah warna rahasia kehidupan yang harus kita masuki.<br /><br /><br /><br />MUSIM KEMARAU DI NEGERIKU<br /><br />Coba dengarkan desau angin yang risau, ketika awan terpenjara di langit,<br />tak mampu menurunkan hujan. Burung-burung kehilangan sarang,<br />karena pohonan meradang. Gunung merenung, hari-hari terkubur debu<br />yang menyesakkan. Sementara sawah-sawah seolah pasrah<br />pada wajah petani yang resah.<br /><br />Coba lihat ikan-ikan menggelepar memburu sungai yang meradang,<br />kehilangan lubuk kehilangan ceruk. Batu-batu hanya bergulingan,<br />saling berbenturan, membilang warna pelangi yang juga tak kunjung datang.<br />Lalu siapakah yang membakar hutan, membakar ladang, membangun<br />longsor, membangun gempa, meledakkan tanggul-tanggul, meledakkan<br />kota-kota, meledakkan harapan-harapan?<br /><br />Sementara anak-anak kita hanya berlarian ke mall, diskotik, rumah bordil,<br />ramai-ramai menyuntikkan darah dan nanah pada tubuhnya, menghisap<br />serbuk duka dan butiran airmata pada bong-bong berkarat, melinting<br />dan membakar masa depan.<br /><br />Dan ayah kita sibuk menumpuk peti uang di kepalanya, menggadaikan diri<br />dalam lekukan paha perempuan, menukar tanah dan sungai dengan<br />pabrik-pabrik beracun, menawarkan buku-buku sejarah palsu, dongeng<br />pengantar tidur manusia tolol, menjual keringat anak-anaknya sendiri<br />yang disajikan dalam setiap perjamuan.<br /><br /><br />SEMUA MENUJU BUMI<br /><br />Daun-daun berguguran, kata-kata berhamburan,<br />batu-batu beterbangan. Hari-hari membeku ketika akar-akar<br />pohonan menjalar mencengkeram kepala, melilit angan,<br />membutakan bumi.<br /><br />Kegelapan membuat catatan bersama angin,<br />mengirim deru hujan, gelombang lautan.<br /><br />Kalaulah yang bersembunyi merajai kepala mau berjudi denganku,<br />akan kuberikan seluruh siang dan malamku untuk memunguti kembali<br />tebaran dedaunan yang berserakan di bumi.hingga hari-hari mengalir,<br />menelusuri kembali garis-garis kehidupan<br /><br /><br />SAJAK RINDU 1<br /><br />Aku telah mabuk dalam hasrat yang berontak<br />Gelisah dan rindu menjadi arak dikerongkonganku<br />Teriakan dalam dadaku menjadi doa kesetiaan<br />Pada matahari yang menebarkan segala warna cahaya<br />Pada langit yang membentangkan segala gairah dan senyuman<br /><br />Aku keluar dari dalam diriku<br />Menghantam hasrat membatu dalam batok kepala<br />Tapi suaraku menggenang dalam kesunyian<br />Sementara deru angin mengerat malam<br />Dan semua peristiwa menjadi gemuruh hujan<br />Yang kuminum dalam setiap percakapan<br /><br />Gelisahku memanjang seperti jalanan lengang<br />Tak henti aku memanggil-manggilmu<br />Ketika malam menjaring bintang-bintang<br />Dan angin menerbangkannya padamu<br />Waktu begitu rahasia mengitari bumi<br />Menyusup hari-hari dari segala musim bertemu<br /><br /><br />SAJAK RINDU 2<br /><br />Deru angin menasbihkan sunyi dalam tapakur rumputan<br />Bayang-bayang bulan menjaring senandung langit<br />Menyempurnakan khusyuk kerinduan<br />Namamu bersayap mengitari relung malam mengurai sinar bulan<br />Pada kabut dan dedaunan yang rebah<br /><br />Kita saling menyapa dalam jarak<br />Menerawang wajah pada ribuan kata dan bentangan sunyi<br />Tawa dan airmata menjadi kerinduan<br />Tak henti mengukir batu-batu dan menguntai bunga<br /><br />Kaukah yang berdiri di ufuk dengan dada berpelangi?<br />Berkirim kobaran angin pada helaian rambut<br />Yang terus tumbuh menghutan di kepalaku<br />Berkirim senandung hujan<br />Yang terus berjatuhan dan menyungai kata-kata dalam puisi<br /><br />Kerinduan mengkhusyuk pada setiap celah waktu<br />Pada setiap musim dimatamu yang menyibakkan tabir<br />Pada beragam kisah yang mengalir<br />Sepanjang matahari dan bulan mengembun<br />Sementara tabir langit membiru dingin<br />Membentang dikeluasan malam<br />Kesunyian lindap<br />Bulan berumah dalam benak meski malam teramat gulita<br /><br /><br />DIANTARA MUSIM<br /><br />Musim menabur kata, menggugurkan daun, Menciptakan<br />gairah, mencatat kenangan, menyimpan angan.Hari-hari tumbuh<br />diantara perbincangan dan perjudian waktu<br /><br />Dunia menerjemahkan wajahnya dalam bayang-bayang matahari<br />Berjalan menyusuri siang dan malam. Bersama butiran embun<br />mencatat syair pada helai rumputan. Batu-batu menjelma puisi,<br />kata-kata meruang di cakrawala<br /><br />Lingkaran matahari berderak mengitari bumi<br />Memunguti lembaran sejarah, bergulir di batas angan<br />Diantara impian dan kemerdekaan<br />Musim mengalir dan terus bergerak<br /><br /><br />PADA WAJAH KOTAKU YANG KURINDU<br /><br />Lelehan keringat pada wajahmu yang lebam, membentuk butiran waktu<br />yang mengental di hatiku. Gigimu yang kelabu memperlihatkan masa muda<br />tumbuh dari jaman yang gelisah. Waktu mengikuti angin menentukan<br />langkah kaki, kau berdiri telanjang dada menantang matahari, lalu kau<br />berlari mengitari hari, memaksa siang turun ke jalan.<br /><br />Dari bibirmu yang kecubung, kedukaan panjang mengucur, duka ilalang<br />di tanah gersang. Kau menunggang angin, menembus waktu menembus<br />ruang, mengejar kembali masa muda yang meninggalkanmu. Memunguti<br />serpihan kenangan yang tercecer, mengemasnya lalu kau bakar dalam airmata. Apakah kau telah menyelesaikan kepiluanmu?<br /><br />Pada wajahmu yang lebam, gigimu yang kelabu dan bibirmu yang kecubung,<br />kulihat wajah kotaku yang kurindu, dengan barisan gigimu berunjuk rasa<br />menentang para pecundang, kulihat juga wajah petani berselubung cemas, pemberontakan telah merusak sawah dan ladang, merusak hutan dan gunung, merusak harapan dan impian.<br /><br /><br />SATU-SATUNYA JALAN ADALAH MERDEKA<br /><br />Di negeriku tercinta, di tanah subur dan alam permai.<br />Kudengar ratapan burung-burung kehilangan sarangnya,<br />kudengar jeritan petani-petani kehilangan sawahnya,<br />kudengar tangisan anak-anak gembala kehilangan kerbaunya,<br />kudengar rintihan sungai-sungai kehilangan airnya,<br />kudengar teriakan hutan-hutan kehilangan pohonnya.<br /><br />Di negeriku tercinta, negeri adil makmur dan sentausa.<br />Kulihat kemiskinan telah menggiring seseorang memasuki penjara,<br />tetapi kutahu tak ada kesakitan yang lebih nyeri dari kemiskinan yang panjang. Kemarau yang meradang di jiwa-jiwa gersang.<br />Kurasakan kengerian, ketika setiap orang menghakimi kemiskinan,<br />bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah kesabaran.<br />Bukan. “Satu-satunya jalan adalah merdeka”,<br />seru burung-burung.<br /><br />Suara-suara mereka mengendap di telinga,<br />tumbuh mengakar ke kepala.<br />Lalu mereka beramai-ramai menampung airmata,<br />mereguknya lalu menyemburkannya ke udara, membakar kemiskinan, memberondongnya dengan senjata, meledakkan hati,<br />sumpah serapah yang paling kejam, ternyata tak menyelesaikan.<br /><br />Satu-satunya jalan adalah merdeka.<br /><br /><br />SAJAK SUNYI<br /><br />Kusembunyikan segala duka, dosa yang mengangkangi setiap<br />langkah kaki, gelisah yang senantiasa merasuki pemukiman nurani,<br />tak ada senyum bagi rasa sinis, tak ada tangis bagi senja yang terus<br />menggerimis, dedaunan hanya menadah aroma sajak basah pada reranting,<br />ketika semua dinding dan pembaringan melumut, ketika angin berputar pada<br />helaian rambut dan menjelma sunyi di kedalamanku.<br /><br />Kusembunyikan segala duka, ketika pintu-pintu terkunci, matahari hanya<br />mengintip di celah tingkap. Ruang gelap mengikatku, kesunyian menyerbu<br />darahku, merajah belulangku, menyelesaikan segala kegilaannya di kepalaku.<br />Dan akupun menggila, menangis sekaligus tertawa, melengkapkan deru<br />yang menghumus dalam dada dan melumat kesadaranku.Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-24151226324362383292011-05-27T04:40:00.000-07:002011-05-27T04:47:10.139-07:00Restu Ashari Putra<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-M1ZOYIk3Eo8/Td-PCR5hczI/AAAAAAAADX8/g7oGMjhyMNg/s1600/Restu.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 200px; height: 186px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-M1ZOYIk3Eo8/Td-PCR5hczI/AAAAAAAADX8/g7oGMjhyMNg/s200/Restu.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5611360930054107954" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Bergiat di Komunitas Rumput dan Majelis Sastra Bandung (MSB). Kini tengah merampungkan studinya di Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung sambil terus mengasah menulis puisi dan prosa. Puisinya singgah di antologi “Empat Amanat Hujan” (DKJ, 2010) dan cerpennya dalam antologi “Bersama Gerimis” (MSB, 2011).<br />Alamat : Jl. Merkuri Utara VIII No.1 Margahayu Raya, Bandung<br />Email : restu_freedom@yahoo.com<br />Telepon : 085781660989<br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">KERENCENG, 1</span><br />-pasukan rumput<br /><br />semestinya kami beterbangan<br />di kaki bukit kami menyiapkan perbekalan<br />namun tak ada yang lebih kekal ketimbang kenangan<br />kami membentak-bentak malam. menyingkirkan dahan. di mata kami hanya ada puncak<br />dan kami tahu cuaca yang agak pucat adalah sebagian yang<br />kami sebut perjalanan. semak-semak melilit kaki. pacet bergelayutan di kaki kami.<br />lalu kami bagai ular berduyun-duyun mengendap ke bawah rimbun rasamala.<br />berjumpalitan. menahan beban yang patah di punggung kami. dan selebihnya<br />hanya tangkai ilalang yang basah.<br />kami tak paham dengan perjalanan jauh dan panjang<br />yang kami mengerti bagaimana kami mengisahkan perjalanan ini<br />di bawah kabut, di tengah tanah yang kadangkala<br />bisa membuat mata kami gerimis saat mengingatnya lagi nanti.<br />O, bukit bukit yang menjadi harapan kami, semestinya kami beterbangan.<br />pergi. dan tak lagi melihat kenangan.<br /><br />mei 2011<br /><br /><span style="font-weight: bold;">KERENCENG, 2</span><br />--haryanah<br /><br />sebelumnya aku tak mungkin<br />menulis perasaan yang paling dingin<br />dengan tangan ditembus hujan.<br />daun-daun pun tak bisa kujadikan kertas.<br />namun malam itu, dengan hati paling gerimis<br />tiba-tiba tubuhku menyala, bulan yang tadinya<br />pucat tiba-tiba purnama. dahan rasamala yang<br />merimbun di sepanjang lereng kemudian<br />rubuh. aku bagai hendak melumat bibirmu<br />dan mengekalkannya di lereng ini.<br />O sayang, api rinduku biarlah berkobar di sepanjang hujan!<br />dan hujan yang sedari tadi turun bagai serdadu itu<br />biarlah mengental. aku menyaksikan air coklat tua luruh<br />menyusur tanah bagai bah. air apakah ini. aku ciduk air-air yang luruh itu<br />dengan tangkai puspa, lalu tetap saja aku tak bisa menulis rindu.<br />tak ada lagi yang membekas padaku<br />kecuali wajahmu yang menyala di puncak ingatanku.<br /><br />mei 2011<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">di negeri ini, negeri puisi</span></span><br /><br />hidup begitu panjang<br />di negeri ini, negeri puisi<br /><br />setiap anak bebas bertanya<br />dan mencari jawab sendiri sendiri<br />tanpa harus takut<br />seorang ayah atau ibu mengurungnya<br />di kamar mandi<br />dan hidup begitu panjang<br />di negeri ini, negeri puisi<br />kita bisa mengucap cinta<br />pada siapa saja. bisa menyayangi<br />apa saja. membiarkan hidup kita terberai<br />dan hanyut oleh senyum tawa<br />seorang kekasih<br />atau perempuan yang sengaja<br />tak kita cintai. lalu kita mabuk<br />dan hidup makin panjang<br />usia kita memanjang<br />dari cerita cerita<br />seputar kegelisahan. tentang sakit<br />dan nyeri<br />di negeri ini, negeri puisi<br />kau dan aku<br />sepertinya sedang sama berjalan<br />bagai kurcaci di pantai sepi<br />kaki kita memanjang<br />tak berbatas<br />tak bertepi<br />lalu kita seperti anak kecil<br />yang saling bertanya, saling menyanggah,<br />dan mencari jawab<br />tanpa harus takut<br />siapa pun akan mengurung kita<br />di negeri ini<br />negeri puisi<br /><br />januari 2011<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">sehabis dari manggarai</span></span><br /><br />mulai malam ini<br />aku belajar menulis surat<br />undangan kematian<br />dan mengirimnya pada rumah,<br />gubuk-gubuk pinggir jalan,<br />pada lelaki renta<br />dan tongkatnya yang tua<br />mungkin nasib semacam angin malam<br />yang riuh dan berisik mengepakkan sayapnya<br />menabrak kaleng,<br />mengetuk tiang-tiang,<br />kemudian mengganggu tidur<br />para sopir di terminal<br />jarum jam bagai kopi hitam<br />yang selalu membuat mata<br />tegang dan terjaga<br />sementara aku<br />kembali lagi belajar<br />mengirim undangan<br />khusus kepada ibu<br />yang sedang merebus batu<br />yang tertawa senyum-senyum<br />dengan bahagia<br />memerhatikan anak semata wayangnya<br />melilitkan tali di lehernya<br />lalu dengan penuh damai<br />mereka merayakan<br />makan malam bersama<br />tanpa lagu-lagu, tanpa nyanyian<br />dikelilingi anjing-anjing liar<br />yang lapar. matanya bengis.<br />mungkin nasib semacam angin malam<br />yang menendang kardus-kardus<br />menerbangkan koran-koran<br />mengapungkan harapan<br />2011<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">seperti dendang ujang</span></span><br /><br />ujang, ayo dendangkan lagi<br />nasib masa depanmu! seru angin<br />dan riuh lautan kota.<br /><br />lalu sampai ke mana kau akan mengejar matahari<br />sedang emakmu rikuh menunggu masakan hari ini<br />mirip senar gitar yang kaupetik keras sekali sampai merintih<br />emakmu perih melangkahi tanah kering penuh matahari<br />menanti ujang kapan datang. emak ingin memasak nyanyian<br />kesukaan ujang. sebab emak senang ujang telah bisa menciptakan<br />hari hari sendiri tanpa bantuan angin pagi<br /><br />setelah lagumu garing ditelan angan-angan<br />kau diami malam sunyi serupa kamar idaman<br />yang kautata di pinggir kota laksana rumah baru<br />padahal kalau kau suka kau masih bisa berbaring<br />di lobi gedung itu meski ranjang dalam kamar<br />mengharamkan tubuhmu untuk sekadar terkapar<br />hanya karena lebih baik kau terbakar atau mati kedinginan<br /><br />baiklah ujang, lebih baik emakmu tak perlu tahu<br />bahwa malam ini kau mengumpulkan banyak nyanyian<br />untuk emak masak bulan depan<br /><br />tak perlu tahu pula kalau kau lelap semalaman<br />di depan loket kantor bis malam<br /><br />2009<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">tentang sajak muram yang hilang di hilir sungai</span></span><br /><br />dan ricik air mengantarkan ceritanya padaku<br />sebuah sajak muram yang hilang di hilir sungai di seberang pulau<br />di sore yang mendung sebelum gerimis hujan<br />walau bagaimana pun, walau langit murung, aku harus membacakannya<br />untukmu, sajak-sajak itu:<br /><br />/beberapa larik untuk kau yang mendung di sore hari<br /><br />wajahku dibelai belai angin<br />dan rambutku bergoyang sendiri<br />tapi tanganku tetap kaku menuliskan airmata<br />untuk kuhadiahkan<br />kepadamu<br />padahal waktu sebentar lagi padam<br />dan cahaya senja segera tenggelam<br />haruskah aku<br />membongkar airmataku sendiri<br />untuk kuhadiahkan<br />padamu<br />agar kau bisa percaya<br />bahwa aku telah tiada dari tempatmu berdiri<br />seperti kau melihat maut<br />menikamku<br />puluhantahunlalu<br /><br />sementara langit terus mengirim gerimis<br />dan angin semakin mengumbar badai<br />---dari ujung jalan itu tubuhku koyak<br />kemudian rubuh!<br /><br />/puisi yang lahir dari airmatamu<br />--culaiha<br /><br />dari tanganku tak saja lahir puisi<br />tapi juga airmata dan beberapa luka<br />karena dari depok ke kalibata<br />aku meninggalkan engkau<br />dengan tubuh derita<br />--lampu lampu padam<br />cahaya bulan pudar<br />dengan kesendirian dan tubuh gemetar<br />aku terlunta menyusuri sudut malam<br />pintu pintu stasiun<br />dari gerbong ke gerbong<br />puisiku lahir, airmataku lahir<br />kertas kertas beterbangan<br />mereka berjalan-jalan sendiri mencarimu<br />menemuimu di tengah kota, tengah terluka<br />sedang menatap bulan<br />dengan mata gerimis<br />dan hujan<br />sementara dari tanganku,<br />lahirlah engkau<br />memanggil manggil namaku<br />berulang-ulang, bersahutan<br />dengan suara senyap ditelan udara malam<br />kemudian hilang<br /><br />/sajak yang akhirnya hanyut di alir sungai<br /><br />aku hanya menjadi bayang bayang<br />puing puing tubuhmu yang hancur digilas malam<br />berantakan<br />ingin rasanya membentangkan tangan<br />kemudian memeluk angin<br />mencium bau rumputan<br />menghirup harum gunung<br />memandang pohon pohon<br />yang gemetar digoyang semilir<br /><br />ingin rasanya memburai burai tangis<br />ke dalam lautan yang mengalir dari hilir hilir<br />sungai<br />sampai aku benar benar bisa melihat wajahmu<br />dari warna pelangi yang benderang<br />dari genangan air yang mengucur ke lembah lembah<br />airmatamu<br />lalu tersenyum padaku<br /><br />ingin rasanya aku berputar putar membentuk telaga<br />menjadikannya muara setiap kesedihanmu<br />menjadikannya gerak daun daun dan ranting di bukit jauh itu<br />menjadi milikmu<br />hingga jikalau daun daun dan ranting pohon itu jatuh<br />ke arus sungai yang mengalir dari hilir hilir bukitmu<br />maka aku akan terbawa hanyut ke dalam alir sungai kesedihanmu<br />yang pedih dan dalam.<br /><br />2010Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-16699178121846508802011-05-22T07:01:00.000-07:002011-05-22T07:25:19.832-07:00Diah Hadaning<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-L7kTID3RIVs/TdkZO3SV9_I/AAAAAAAADXM/4M4aaOPS8zA/s1600/191919_1632627101255_1403985450_31361625_3572140_o.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 133px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-L7kTID3RIVs/TdkZO3SV9_I/AAAAAAAADXM/4M4aaOPS8zA/s200/191919_1632627101255_1403985450_31361625_3572140_o.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609542554016413682" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Kelahiran Jepara-Pantura, Mei 1940. Serius menulis sejak 1970-an sampai sekarang. Karyanya telah banyak diterbitkan (buku kumpulan puisi), tampil solo, duet, dan antologi bersama. DIHA juga menulis dalam bahasa daerah (Jawa ) berupa gurit (puisi), cerkak (cerpen) dan naskah lakon tradisional. Kegiatannya sekarang, baca puisi di berbagai acara, penjurian, apresiasi dan mengelola WARUNG SASTRA DIHA, sebuah komunitas dialog jarak jauh, melayani berbagai ‘urusan hidup ‘ khususnya sastra. Salah satu puisinya :<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Elegi Tanah Merdeka</span></span><br />( Kepada yang Lupa Akan Sumpahnya )<br /><br />ketika langit penuh jelaga<br />halangi kedip bintang langit barat<br />jiwa tualangmu jadi badik dan celurit<br />menyambar nasib orang-orang<br />yang tiba-tiba mati langkah<br />di lorong-lorong kemerdekaan<br />kau ingat ?<br />sumpah setia berbilang musim ?<br />tanah air, nyawa yang dipertaruhkan<br />anak negeri, darah daging kehidupan<br />yang menuntut cinta dan kejujuran<br />sementara era bicara lain<br />orang besar segalanya serba besar<br />sampai tertutup nurani peduli<br />lupa semua hanya titipan<br />Sang Pemberi Kehidupan<br />tanpa doa pertobatan<br />hilang makna harta dunia<br />sementara orang kecil segalanya serba kecil<br />masa depan tak lebih gigil<br />hari-hari perjalanan melelahkan<br />terjebak antara memburu dan diburu<br />di padang perburuan tanah merdeka<br />siapa menangisi negeri melati hilang wangi ?<br /><br /><br />Cimanggis, 2003 – 2004<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Maha Hamparan</span> </span><br />di sehampar bentangan semesta serba maha<br />ada undakan kesetiaan para petani<br />semua menanam bijihbijih pengharapan<br /><br />di semilir angin pada angkasa serba raya<br />tercipta kedamaian buih angan masa datang<br />tentang pemanjat pohon kelapa<br />penugalpenugal tanah kasar yang landai<br /><br />apa yang diinginkan awan<br />ketika mendung mengantarkan halimun<br />pekat aroma asap<br />hutanhutan terbakar<br />gemunung mati ditinggal zaman bergerak<br /><br />deras sungai masih dapat kurasakan<br />ketika air membawa kail pemancing<br />hanyut bersama batubatu<br /><br />mereka masih menyisir jejak lokomotif<br />rel tua berabadabad<br />karat melamurkan kenangan<br /><br />di sana,<br />gegap gempita terdengar<br />pekikpekik kemerdekaan<br />lindap pegunungan mengakar masa<br /> <br />SudutBumi, 2005<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Kidung dari Rumah Panggung</span></span><br /><br />dibangun dari kayu hitam hutan sisa<br />peradaban, teritisan batu granit<br />mampu sembunyikan bermusim rasa sakit<br />pagi serap bias matahari sisa gerhana<br />malam serap embun dan hujan asam<br />sesiapa di dalam<br />masih harap lusa ada perubahan<br /><br />sementara anak-anak telah pandai<br />naik turun di tangga rumah panggung<br />menebar tawa di udara<br />menyapa matahari ?<br />memanggil angin ?<br />atau mendengar kidung aneh<br />yang setia mengusap-usap atap<br /><br />setiap ganti musim<br />makin terdengar aneh<br />tulang dan kidung makin melengkung<br /><br />Cimanggis, 2005Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-207451067711381732011-05-01T00:31:00.000-07:002011-05-01T00:35:34.980-07:00Ardy Kresna Crenata<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-SiX5sTjC2EM/Tb0NK2up_VI/AAAAAAAADRk/DTNpEQfB3GI/s1600/Ardi%2BKresna.png"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 160px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-SiX5sTjC2EM/Tb0NK2up_VI/AAAAAAAADRk/DTNpEQfB3GI/s200/Ardi%2BKresna.png" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5601647991659822418" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Cianjur, bermukim di Bogor, kuliah di Institut Pertanian Bogor dengan studi Matematika Menyenangi sastra sejak di sekolah menengah terutama puisi.<br />Alamat Rumah Pak Udin RT 03/06, Kp. Babakan Dongeng, Darmaga, Bogor 16680<br />HP 085693841985 Alamat E-mail crenata011@yahoo.com<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Cahaya, Sebuah Kota</span></span><br /><br />mungkin sudah terlalu jauh aku tersesat di kotamu<br />hingga tak lagi bisa mengingat, dari arah mana aku datang<br />dan ke arah mana seharusnya aku pergi. sementara kendaraan<br />di jalan-jalan, senantiasa memberikan cahaya<br />bahkan bagi siapa-siapa yang tak lagi mempedulikannya.<br />aku pun masih senantiasa memberimu cahaya.<br /><br />aku tak tahu, sampai kapan aku bisa menjadi asing<br />di tengah-tengah peristiwa yang selalu mengingatkanku padamu.<br />sampai saat ini, aku hanya bisa meyakini satu hal yang mungkin kekal,<br />bahwa aku ingin lebih lama bertahan di kotamu,<br />meski itu berarti tersesat, dan engkau mungkin belum akan<br />memahami apa yang sesungguhnya di sana kucari.<br />tak apa. kukira masih akan ada banyak kisah untuk dimaknai,<br />dan jika pun kelak aku harus menyerah, tentunya hanya kepada apa<br />yang sungguh-sungguh aku percayai. aku tak ingin cita-cita<br />begitu saja lenyap, sedangkan untuk membuatnya ada<br />aku terpaksa mengorbankan banyak kenangan<br />dan menjadikannya usang. meski matamu belum bisa<br />menemukan tanda-tanda di mataku, aku akan bertahan.<br /><br />untuk sebuah janji yang tak pernah ingin kuingkari,<br />barangkali aku akan mengenang setiap peristiwa yang kutemui,<br />melekatkannya dalam puisi, lalu memberikannya padamu.<br />tapi seindah apapun sebuah puisi, hanya akan engkau maknai<br />di saat engkau sendiri, dan aku hanya akan menjadi bayang-bayang<br />bagi tubuhmu yang tak setiap saat merindukan cahaya.<br /><br />aku tak ingin seperti itu. sebab aku memahami cinta<br />sebagai sesuatu yang nyata. dan jika kita hanya<br />terus berpura-pura, kita mungkin hanya akan menjadi rahasia<br />dari peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya tak pernah ada.<br />jika kesetiaan bisa tumbuh dari banyak pengorbanan,<br />kuharap kebersamaan kita kelak adalah sebuah tujuan.<br /><br />maka biarkanlah aku senantiasa memberimu cahaya,<br />meski mungkin tak setiap saat engkau berada dalam gulita.<br />aku akan setia menjadi malam bagi sepasang matamu yang lelah,<br />bagi sebuah kota di hatimu yang merindukan kisah-kisah.<br /><br />Bogor.April.2011<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Malam Bagi Sebuah Kota</span></span><br />: NN<br /><br />matamu adalah malam bagi sebuah kota<br />di mataku, tempat lampu-lampu<br />redup menyala, menyambut siapa saja<br />yang merasa keyakinannya goyah.<br />di sana, jalan-jalan hanya sesekali lengang,<br />hujan seperti enggan berhenti,<br />dan percakapan banyak tertinggal<br />di setiap keberangkatan<br />yang tiba-tiba. persis, seperti itu lah<br />mataku menerjemahkan matamu:<br />sebuah keberangkatan yang tiba-tiba.<br /><br />matamu adalah malam bagi peron-peron<br />di mataku, yang kehilangan getaran<br />di setiap keberangkatan yang tiba-tiba.<br />di sana, aku terjebak antara tetap tinggal<br />atau menyusul mereka yang<br />telah pergi. sementara jarak tak<br />pernah lagi menunggu. waktu<br />melangkah semakin cepat. dan sebuah<br />jawaban dari apa yang tak pernah<br />kutanyakan, datang begitu saja,<br />mengenalkan dirinya sebagai kematian.<br /><br />aku lalu menyadari, tak mungkin<br />menghapus kejadian yang pernah ada<br />tanpa mengalami kembali<br />kejadian itu. sedangkan bau dari<br />kenangan yang membusuk<br />hanya akan menjadi saksi atas hancurnya<br />sebuah keyakinan yang mati-matian<br />kupertahankan. lalu tak lama,<br />sebuah kota akan patuh<br />pada kesia-siaan. kehidupan akan<br />kembali jadi sekeping uang<br />yang menolak dibelanjakan.<br />perjalanan terhenti. kematian<br />bermalam di tempat-tempat yang<br />ditinggalkan. dan percakapan<br />tak lagi terdengar. dan<br />hujan terasa asing.<br /><br />matamu, adalah malam bagi sejumlah<br />kenangan yang seharusnya kulupakan.<br />dan sebuah janji yang dulu ada,<br />akan selalu ada, meski tak mungkin<br />kini untuk kita memenuhinya.<br /><br />Bogor.Maret.2011<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Api dan Kayu</span></span><br /><br />benci dan cinta diciptakan<br />dari api yang sama. dan kita adalah<br />kayu-kayu yang terbakar<br />dan kelak menjadi abu.<br /><br />April.2011Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-8424619372851479802011-02-16T03:08:00.000-08:002011-02-16T03:16:08.450-08:00ASRIZAL NUR<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/-vOjVOAOh4Gw/TVuxZQtIXEI/AAAAAAAAC4A/3S6p-Q1R6nc/s1600/asrizal%2Bbaca%2Bpuisi.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 320px; height: 242px;" src="http://3.bp.blogspot.com/-vOjVOAOh4Gw/TVuxZQtIXEI/AAAAAAAAC4A/3S6p-Q1R6nc/s320/asrizal%2Bbaca%2Bpuisi.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5574244011340225602" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Di puisi bermula sebagai Deklamator, Juara Provinsi Riau ( 1990), Juara se Sumatra (1993) Juara Nasional Piala HB Jassin (1996).<br />Tahun 2009 ia mementaskan puisi-puisinya dengan Spektakuler dan kolosal, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Mazuki Jakarta, Kolaborasi pembacaan puisi dengan multimedia : Tari, Teater, Musik, audiovisual, dengan nama Konser puisi Multimedia Asrisal Nur.<br />Menara, pertunjukan puisinya perdana di Teater Arena Pekanbaru (1990), Kuda, di Teater Arena Pekanbaru (1992), Menjalin Waktu, di Taman Budaya Riau (1993), 24 April 2005 menggelar pertunjukan puisinya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 26 September 2005 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta dipenuhi sesak penonton, Pembacaan Sajak Melayu Asia Tenggara di Kepri (2006), Baca Sajak Jalan Bersama di TIM (2006), Baca Sajak Panggung Apresiasi Sutardji Calzcoum Bachri di TIM ( 2007), Baca Sajak Panggung Apresiasi Temu Sastrwan se Indonesia di Jambi (2008), Baca Sajak 100 Tahun kebangkitan Nasional di Wapres.Bulungan Jakarta (2008), Baca Sajak Internasional di Jakarta (2008) Membaca Puisi Poritugal, Indonesia, Malaysia di Universitas Indonesia (2009). Baca puisi Radio Televisi Brunei Darussalam(2010) .<br />Puisinya pernah dimuat diberbagai media nasional dan Daerah. 2bukunya telah terbit : Dalam Kotak Debu (kumpulan puisi untuk buruh, 1998), Perlawanan Orang Kotak Debu (Kumpulan puisi, 2005) dan Percakapan Pohon dan Penebang (YPM, 2009) dan termuat dalam beberapa antologi puisi antara lain : Kumpulan Sastra Sagang (1996), Kolaborasi Nusantara (Antologi puisi bersama, 2006), Antologi Puisi Nusantara (2006), Rampai Melayu Asia Tenggara (2006), 100 tahun Kebangkitan Nasional ( 2008), Gong Bolong (2008), Kumpulan puisi Portugal, Malaysia dan Indonesia (2008)<br />Disamping menulis dan membaca puisi, kini mengorganiser budaya di Yayasan Panggung Melayu.Kegiatan budaya yang paling fenomema melaksanakan Pekan Presiden Penyair Internasional 2007, Festival Penyanyi Zapin se Indonesia 2008, Festival Pantun se Asia Tenggara (2008), menciptakan naskah dan menyutradarai Opera Pantun di Taman Ismail Marzuk i(2008). Konser Puisi Multimedia Asrizal Nur (TIM. 2009)<br />Atas dedikasinya terhadap budaya Melayu mendapat Anugerah Sagang pada kategori Seniman serantau.<br /></div><br />Puisi-puisinya :<br /><br /><span style="font-weight: bold;">PUISI</span><br /><br />Siapa<br />tak :<br />lihat<br />dengar<br />baca<br /><br />akulah : mata, telinga, suara, tanda<br /><br />sebab :<br />parau angin<br />kau tak sampai resahnya<br />rintih cicit burung<br />kau tak tangkap lukanya<br />marah alam<br />kau tak jera amuknya<br /><br />maka:<br />lihat,<br />dengar<br />bacalah!<br /><br />temukan raib hati<br />kau<br /><br /><br />Sei Ladi, Tanjungpinang 21Oktober 2009<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">MAJELIS ZIKIR DEDAUNAN</span><br /><br />Pada mulanya<br />rimba raya sajadah doa<br />majelis zikir dedaunan<br /><br />daun rayu ranting berzikir<br />ranting berzikir<br />ranting bujuk dahan berzikir<br />dahan berzikir<br />dahan panggil pohon berzikir<br />pohon berzikir<br />pohon bawa rimba berzikir<br />rimba berzikir<br />pohon ajak penebang berzikir<br />penebang mungkir<br />tebas<br />bakar<br />libas<br /><br />majelis zikir daunan<br />jadi padang api<br />ranggas<br />kering doa<br /><br />munazat rimba ditebas penebang<br />enggan tanam<br />tak tumbuhkan doa<br />alam murka<br />tak kuasa tolak bala nestapa<br /><br />ketika bencana tiba, ranting kering berkata:<br />“maaf! kami tak lagi mampu merayu Tuhan<br />lantaran doa kami terbakar bersama abu daunan”<br /><br />Bogor, September 2009<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">PINTU</span><br /><br />Di pintu<br />ada sepatu<br />tapaknya berdarah<br />bernanah<br /><br />tak ada penjaga ramah<br />cuma pemintaminta<br />tak ada penawar bunga<br />hanya penjaja duka<br /><br />pintu<br />tak lagi mudah diketuk<br />bila diketuk<br />dia mengetuk<br />bila ditanya<br />dia bertanya<br />bila diharap<br />dia mengharap<br />bila kau sedih<br />kau yang diperih<br />bila kau masuk<br />kau diluar<br /><br />kemana pintu<br />tempat masuk itu?<br />tinggal jejak<br />berdarah<br />bernanah<br /><br />Depok, September 2009<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">MATAHARI HATI</span><br /><br />Ketika zaman musim kelam<br />orang –orang bungkus hati<br />dengan selimut buram<br /><br />pada musim ini<br />jalan bersimpang kelam<br />selalu jebak tapak sama<br /><br />musim gelap<br />uji besar cahaya hati<br />bila redup, gelap tipu pandang<br /><br />selamatkan hati<br />nyalakan jadi matahari<br />tuntun ragam musim<br /><br />matahari hati pembeda<br />mana terang<br />mana kelam<br /><br />Jakarta, Agustus 2005<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">BELAJAR DENGAN BAHASA DAUN</span><br /><br />Mengapa menara yang kita dirikan<br />bila kaki terhimpit pilarnya<br />kenapa bukan bangun kincir<br />sehingga riak telaga jadi samudra<br /><br />kita terlanjur suka gemerlap neon ria<br />sedang kabelnya dibiarkan konslet di gudang jiwa<br />kota kota adalah gugusan bintang<br />kita ciptakan dari hati yang kelam<br /><br />belajarlah dengan bahasa daun<br />saat hening<br />bersahabat dengan :<br />angin, kerikil telaga<br />burungpun bernyanyi<br />embun senggayut di rerantingan<br /><br />belajarlah dengan bahasa daun<br />bila gugur<br />tercipta kehidupan baru<br /><br />Pekanbaru, 1996<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">DIBUNUH MALAM</span><br /><br />Dikejar rajawali waktu<br />tunggang kuda pagi<br />pacu perburuan binatang kegelapan<br />taklukan pertarungan siang<br />malam nyayian pengembara pulang<br /><br />banyak pengembara hilang<br />tergoda rahim panorama rimba<br />dicumbu bianglala senja<br />lelap berpeluk maya<br /><br />malam menerkam<br />binatang kegelapan hunus taringnya<br />mega hitam lumat rembulan<br />lari ? sia sia menabrak kelam<br /><br />lalu angin penghabisan<br />bawa berita<br />pengembara dibunuh malam<br /><br />Lewiliang, Bogor 26 Pebruari 2005<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">HIDUP ATAU MATI</span><br /><br />Orang hidup<br />berani mati takut<br /><br />orang mati<br />takut hidup takut<br /><br />lantaran takut<br />banyak orang mati dalam hidup<br />lantas purapura hidup<br /><br />apalah arti hidup purapura<br />bila sebenarnya diri tiada<br /><br />Depok, 29 Juli 2005<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">HIKAYAT ABAD TIBA</span><br /><br />ketika abad hijau<br />air bening , tanah rimbun, langit biru<br />bumi kebun matahari<br /><br />moyang hisap<br />hingga sumsum raya<br />sisakan dongeng surga<br />cucu telan remah peradaban<br /><br />ini ranah moyang<br />milik anak zaman<br />lumat diperut nafsu<br />mengunyah abad tiba<br /><br />duka masa datang<br />bukan dosa musim<br />orang silam gotongroyong<br />mencuri abad tiba<br /><br />jika kita ada dimasa datang<br />akan paham makna<br />setetes air<br />sehelai daun<br />sepercik api<br /><br />ratapi dosa lalu<br /><br />Depok, Oktober 2005<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">REVOLUSI TIKUS API</span><br /><br />Mulanya cuil ompong<br />mainan kucing tidur<br /><br />asah gigi pisau<br />pada dengkur cakar kucing<br />mengendap maling taring<br />tak ada yang tau<br /><br />giginya disembilu hari<br />cakar kucing dingilu mimpi<br />patahkan taring tikus peluh letih<br />tak ada yang mau tau<br /><br />hardik kucing tinggal lenguh<br />cicit tikus makin riuh<br />taring runcing kian sembilu<br />tak ada yang perlu tau<br /><br />tikus jelma jadi api<br />bakar :<br />dapur<br />buku<br />palu<br />waktu<br /><br />ketika pondasi rumah jadi abu<br />siapa mampu jadi pemburu ?<br /><br />Depok, Oktober 2005<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">TIKUS API</span><br /><br />Di negeri tikus api<br />sulit beda mana tikus<br />mana kelinci<br />pencuri dan orang suci<br /><br />di negeri tikus api<br />sang pemburu<br />menembak hati sendiri<br /><br />Depok, Oktober 2005<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">KURSI BUNTUNG</span><br /><br />Di kursi buntung<br />Geneva depan gedung damai<br /><br />aku dipercik rinai salju<br />muncrat dari tiga kaki kursi itu<br />keperkasaannya wartakan berita<br /><br />kursi buntung<br />meronda hari<br />kesetiaan adalah pengabdian<br /><br />duduk di kursi buntung<br />tak boleh dengkur<br />ngigau<br />meracau<br />mesti kusuk<br />angin duduk merajuk<br /><br />di pasar kursi<br />orang orang berebut kursi<br />beralas beludru<br />hitam atau abuabu<br /><br />kursi buntung tak laku<br />tak bisa duduk sukasaku :<br />para pendengkur<br />bertarung rebut kursi empuk bergincu<br /><br /><br />Geneva Swiss-Jakarta, 2000-2009<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">NEGERI PANTUN</span><br /><br />( Kepada Tanjungpinang)<br /><br />Aku saksikan mata air kata<br />meluap di lafaz pemantun<br />jiwa berlabuh didermaga kota<br />dipeluk peradaban negeri pantun<br /><br />bahkan laut bahkan ikan<br />riak air dan gelombang<br />pantai, pasir dan awan<br />nelayan dan air pasang<br /><br />air memberi kata ke laut<br />riaknya berpantun gelombang<br />gelombang seru bertaut<br />mengalir pantun di air pasang<br /><br />air pasang berpantun pada ikan<br />ikan membalas kata riang<br />riang kata umpan nelayan<br />ikan dipancing dibawa pulang<br /><br />ikanpantun di lahap perut kota<br />jadikan orang berlidah pantun<br />tuntun cakap, mematut kata<br />adat melayu bertuah santun<br /><br /><br />Tanjungpinang, 2007<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">JANGAN TANYA LAGI</span><br /><br />Jangan tanya lagi<br />muasal air direguk<br />bila hujan asal satu langit<br />laut<br />gunung<br />jarak<br />hanya memisah badan<br />sedang kalbu dapat terbang dijulang angin<br />mengantar rindu hati satu<br /><br />jangan tanya lagi<br />muasal darah netes<br />bila tanah<br />dari satu bumi<br />tanyakan kemana tujuan?<br /><br />Ini hari<br />kita masih berlari dilangkah semula<br />terseret waktu lalu<br />dengan dada luka<br />lantaran letih toreh nama diri<br />sementara di lebuh raya<br />kita tak mampu menebak tapak siapa<br />sembraut mengacak jejak<br />dulu pernah digores darah<br />airmata<br /><br />sudah lama kita ditipu muslihat nanah<br />berbau darah<br />sekarang pekikkan kembali<br />tanah air dengan hati satu<br /><br />bedakan mana darah<br />mana nanah<br /><br />bila kau darah<br />kemarilah!<br /><br />bila kau nanah<br />berambuslah!<br />jangan tanya lagi<br />muasal darah netes<br />tanyakan hati<br />aku :<br />darah<br />atau<br />nanah?<br /><br />Depok, 7 Mei 2008Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-71264658398073900992010-10-20T22:35:00.000-07:002010-10-20T22:45:01.369-07:00Acep Zamzam Noor<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/TL_TKafiXiI/AAAAAAAACYM/Q4MgmdZtvTM/s1600/Acep+Zamzam+Noor.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 172px; height: 200px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/TL_TKafiXiI/AAAAAAAACYM/Q4MgmdZtvTM/s200/Acep+Zamzam+Noor.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5530371043298008610" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Tasikmalaya, 28 Februari 1960. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993). Mengikuti workshof seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996). Mengikuti pameran dan seminar seni rupa di Guangxi Normal University, Guilin, dan Guangxi Art Institute, Nanning, Cina (2009).<br /><br />Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibukota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia). Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994.<br /><br />Sejumlah puisinya termuat dalam beberapa antologi penting seperti Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987), Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994), Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Takbir Para Penyair (Festival Istiqlal, 1995), Negeri Bayang-bayang (Festival Surabaya, 1996), Dari Negeri Poci III (Tiara, 1996), Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996), Utan Kayu: Tafsir Dalam Permaianan (Kalam, 1998), Bakti Kemanusiaan (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2000), Angkatan 2000 (Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Nafas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan lain-lain.<br /><br />Sejumlah puisinya juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan termuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), Aseano (Manila, 1995), In Words In Colours (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), Journal of Southeast Asia Literature Tenggara (Kuala Lumpur, 1996), diterjemahkan Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (Ohio University Press, 2001), Poetry And Sincerity (Jakarta, 2006), Asia Literary Review (Hongkong, 2006) serta The S.E.A Write Anthology of Asean Short Stories and Poems (Bangkok, 2008). Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan termuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004), diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan termuat dalam Orientierungen (Bonn, 2008), diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal dan termuat dalam Antologia de Poeticas (Jakarta, 2008). Belakangan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jepang dan Arab.<br /><br />Puisi-puisi Sundanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan ke dalam bahasa Perancis oleh Ajip Rosidi dan Henri Chambert-Loir untuk Poemes Soundanais: Anthologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).<br /><br />Beberapa kali mendapat Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda) untuk puisi Sunda terbaik. Kumpulan puisinya, Di Luar Kata, meraih Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2000 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sedang kumpulan puisi Jalan Menuju Rumahmu selain mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2005 dari Pusat Bahasa, juga mendapat South East Asian (SEA) Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand. Mendapat Anugerah Budaya 2006 dari Gubernur Jawa Barat. Mendapat Anugerah Kebudayaan (Medali Emas) 2007 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Kumpulan puisinya, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Namanya termuat dalam Ensiklopedi Sunda dan Apa Siapa Orang Sunda susunan Ajip Rosidi.<br /><br />Tahun 1995 mengikuti Scond ASEAN Writes Conference di Manila, Filipina, mengikuti Festival Puisi Indonesia-Belanda dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Tahun 1997 mengikuti Festival Seni Ipoh II, di Ipoh, Malaysia. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Jakarta, mengikuti Kuala Lumpur Southeast Asian Writers Meet di Kuala Lumpur, Malaysia. Tahun 2002 mengikuti Festival Puisi Internasional Indonesia di Makassar. Tahun 2004 mengikuti Winternachten Poetry International Festival di Den Haag, Belanda. Tahun 2006 mengikuti Festival Puisi Internasional 2006 di Palembang, mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2006 di Bali. Tahun 2007 mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale di Magelang, menjadi mentor pada Bengkel Puisi Majlis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda. Tahun 2008 mengikuti Temu Sastrawan Indonesia di Jambi, mengikuti Jakarta International Literary Festival di Jakarta, mengikuti Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau.<br /><br />Kini Acep tinggal di kampungnya, Cipasung, lima belas kilometer sebelah barat kota Tasikmalaya. Sehari-harinya bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan sambil terus menulis dan melukis. Sekali-kali memenuhi undangan ke berbagai daerah untuk membaca puisi, diskusi, seminar, workshop, menjadi juri atau sekedar jalan-jalan. Jalan-jalan merupakan hobinya yang paling utama, di samping mengoleksi batu akik dan kain batik.<br /><br /></div><br />MENJADI PENYAIR LAGI<br /><br />Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu<br />Di lantai keramik yang licin. Aku selalu terkenang kepadamu<br />Setiap melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi<br />Atau setiap kali menyaksikan penyanyi dangdut di televisi<br />Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa<br />Menjadi penyair lagi. Bau parfummu yang memabukkan<br />Tiba-tiba menyalinap lewat pintu kamar mandi<br />Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi<br />Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata<br />Sedang bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu<br />Telah menjelmakan kata-kata juga<br /><br />Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa<br />Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan<br />Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja<br />Bersama kertas, rokok dan segelas kopi. Lalu kutulis puisi<br />Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku<br />Ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku<br />Kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu<br />Celana dalam, kutang serta ikat pinggangmu<br />Yang dulu kautinggalkan di bawah ranjang<br />Sebagai ucapan selamat tinggal<br /><br />Tidak, Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan<br />Juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan<br />Penyair tidak menangis karena dikhianati<br />Juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam<br />Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata<br />Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:<br />Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya<br />Pembajakan, pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi<br />Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini<br />Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya<br /><br />O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi<br /><br />1996<br /><br /><br />DUA PANTAI<br /><br />Di antara dua pantai. Seperti juga alamat rindu<br />Tersesatlah kita dalam panjangnya sebuah ciuman<br />Serta rimbunnya sulur-sulur pohon kenangan:<br />Tenggelam dalam tahun-tahun yang bergaram<br />Hanyut dan megap-megap dicumbu kesementaraan<br /><br />Setangga demi setangga menapaki keagungan upacara<br />Luput menggapai pangkal kata, menyerah pada debar dada<br />Kembali merayap dari banjar ke banjar, dari kandang babi<br />Ke kafe sunyi. Dalam mabuk kita melihat sebuah gambar<br />Dan nampaklah tubuh-tubuh yang bergelimpangan<br />Seperti patung-patung yang hangus terbakar<br /><br />Tertawa karena langit kita masih biru adanya<br />Perahu masih melaju dalam naungan angin sakal<br />Dari tenggara. Kita membaca jejak pada kilau ombak<br />Menenggak arak serta kandungan filsafatnya<br />Hingga gairah mistik itu kembali membakar udara<br />Dan tubuh kita menjelma anak-anak panah yang menyala<br /><br />Di antara dua pantai, seperti juga dermaga cinta<br />Terkulailah kita dalam letihnya sekian persetubuhan<br />Serta berlikunya jalan menuju ruang pemujaan:<br />Ternyata kemesraan masih mempunyai wilayah di bumi<br />Seperti juga kedalaman hati dengan riak-riaknya yang sopan<br /><br />1996<br /><br /><br />TERINGAT LI PO<br /><br />Siapakah yang melangkah<br />Meninggalkan jejak gerimis?<br />Lengkung langit<br />Sejak semula hanya betah jadi saksi<br />Yang bisu. Dan angin risik dan daun-daun<br /><br />Siapakah yang melangkah<br />Dan bergegas melupakan jejak<br />Kesedihan? Aku, bayang-bayang dan bulan<br />Hanya berpandangan. Menunggu. Dan taman lebih bisu<br />Juga pohon-pohon dan bangku-bangku. Juga waktu<br /><br />1983<br /><br />MEDITASI<br /><br />Angin itu masih duduk-duduk<br />Di halaman. Merenungi bunga-bunga<br />Musik hanya lewat<br />Juga waktu. Angin itu<br />Seperti abadi. Ketika sunyi<br />Ketika dingin menggetarkan daun-daun<br />Membakar ngungun. Gerimis pagi<br /><br />1983<br /><br /><br /><br />KETIKA<br /><br /><br />1<br /><br />Ketika gempa yang begitu sopan<br />Menggoyang kampung kami<br />Kudengar semua nyanyian, semua tarian<br />Yang tengah digelar di halaman kelurahan<br />Menjadi senyap. Semua serangga, semua satwa<br />Semua rumputan, semua tumbuhan dan pohonan<br />Bahkan semua kata yang terucap, kalimat yang meluap<br />Amarah yang membumbung seperti asap<br />Mendadak bisu. Semua mengendap<br /><br />2<br /><br />Di kamar sempit kami yang apak dan dindingnya retak<br />Yang lampunya lindap karena kekurangan minyak<br />Di ranjang kami yang engselnya longgar dan bantalnya lusuh<br />Di mana segala desah dan lenguh, segala keluh dan kesah<br />Terasa begitu jauh. Bahkan segala sumpah dan serapah<br />Segala ratapan dan jeritan yang ditingkah bunyi kentongan<br />Terdengar hanya sayup. Kulihat malam menyeret terompahnya<br />Dan subuh berlabuh pada pelupuh. Kusaksikan cakrawala yang jauh<br />Kemah-kemah awan yang bergerak pelan dengan semburat kemerahan<br />Yang kemudian menyelimuti punggung lelaki bungkuk dan sakit-sakitan<br />Punggung lelaki yang bernama ufuk. Tiba-tiba kami rasakan kembali<br />Guncangan kecil itu, hentakan pendek itu serta sodokan lunak itu:<br />Di mana waktu kehilangan langkahnya, menit ditinggalkan detik-detiknya<br />Dan jam menggenang seperti comberan. Di mana ingatan berlepasan<br />Pikiran berloncatan dari sarangnya, perasaan menguap begitu saja<br />Di mana harapan dan keputusasaan tak ada bedanya, hidup dan mati<br />Begitu tipis jaraknya. Di mana ruang dan waktu terlempar dari porosnya<br />Langit dan bumi berangkulan seperti sepasang kekasih yang lama<br />Tidak berjumpa. Di mana sunyi bertahta di atas singgasana<br /><br />3<br /><br />Ketika gelombang pasang yang tak ramah<br />Menyapu daun-daun kelapa dan atap-atap rumah<br />Ketika angin puting beliung menerjang sawah dan kebun<br />Merobohkan surau dan madrasah, menggusur sekolah dasar<br />Dan puskesmas yang terlantar. Kulihat ikan-ikan berterbangan<br />Ayam-ayam berlarian, sapi dan kambing mati di kandang sendiri<br />Hansip-hansip menerobos reruntuhan dengan senter dan patromak<br />Mencari mayat-mayat. Keesokan harinya tentara dan polisi datang<br />Menggali lubang besar untuk mengubur mereka bersama-sama<br />Sebelum membusuk. Lalu gempa sialan itu mengguncang kami lagi<br />Lalu air bah kurang ajar itu menerjang kami lagi. Semuanya lewat<br />Juga silsilah panjang kami yang tercerabut dari akarnya yang dalam<br />Semuanya berlalu, juga sejarah yang terpaksa kami biarkan pergi<br />Entah ke mana. Dan semuanya harus kami relakan untuk tidak kembali<br />Semuanya, semuanya. Juga keberadaan atau ketiadaan kami ini<br /><br />4<br /><br />Aku tidak mengenal musim dan cuaca, lupa tanggal dan nama hari<br />Hanya tahu bahwa masih ada siang dan malam, ada gelap dan terang<br />Susah dan senang. Sudah lama aku tak peduli pada baik atau buruk<br />Pada salah atau benar, hina atau terhormat. Kerjaku hanya main domino<br />Bertandang dari tenda ke tenda, dari barak ke barak, dari posko ke posko<br />Hingga kutemukan kembali istriku yang kurus di sela tumpukan kardus<br />Lalu kami bercinta sambil menunggu giliran masuk kakus, kami bercinta<br />Sambil mengantri pembagian nasi bungkus, kami bercinta sambil pawai<br />Merayakan hari kemerdekaan atau sambil berdesakan melihat kampanye<br />Di kecamatan. Atau sambil menunggu giliran mencoblos di bilik suara<br />Ah, di tengah semburan lumpur panas kami masih disuruh memilih lurah<br />Bupati, gubernur dan presiden. Kami disuruh memilih salah seorang<br />Dari mereka yang suka membagikan kaos, poster, spanduk atau sembako<br />Salah seorang dari mereka yang wajahnya terpampang di mana-mana<br />Namun tidak kami kenal dan suara mereka tidak pernah terdengar:<br />Biar gampang kami pilih saja yang kumisnya paling tebal<br /><br />5<br /><br />Di bantaran sungai yang landai, di atas tumpukan sampah yang bau<br />Gubuk masa depan kami terangkat ke udara, melayang-layang sebentar<br />Lalu rubuh dan hanyut. Banjir selalu datang setiap tahun, kebakaran<br />Terjadi setiap bulan, sakit perut berkunjung saban minggu, kelaparan<br />Dan kemarahan menjadi teman sehari-hari. Sekian lama kami terlunta<br />Sekian lama mengembara dari kolong jembatan ke bekas gerbong kereta<br />Namun selalu saja punya alasan untuk tertawa atau menertawakan<br />Setiap keadaan. Kemarin ada tetangga jatuh dari atap bangunan<br />Tersangkut di kawat listrik tegangan tinggi. Kemarinnya lagi ada mayat<br />Mengambang di sumur. Tadi malam anak sulung kami ditangkap polisi<br />Yang nomer tiga kena flu burung. Lalu dari toko elektronik sayup terdengar<br />Seorang presiden yang suaranya merdu tengah menyanyi di televisi<br />Mungkin tentang pelangi yang menghilang dari mata kami<br /><br />2007.<br /><br /><br /><br />SAJAK SEORANG PENGUNGSI<br /><br />/Buat Frans Nadjira<br /><br /><br />Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun<br />Di jantungku gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan<br />Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku<br />Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat<br />Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Sepanjang hari<br />Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini<br />Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan belati terhunus<br />Kemudian melempari gambar pemimpinnya yang nampang<br />Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah tiang bendera<br /><br />Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun<br />Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan<br />Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku<br />Menjadi bajingan. Kembali aku mengembara dalam kesamaran<br />Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu<br />Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak<br />Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:<br />Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh<br />Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagiArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-49625636133117564422010-02-02T08:20:00.000-08:002010-02-02T08:27:51.866-08:00jun nizami<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/S2hScigq9BI/AAAAAAAAB0M/FbZKJSn1a1c/s1600-h/Jun+Nizami.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px; height: 160px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/S2hScigq9BI/AAAAAAAAB0M/FbZKJSn1a1c/s320/Jun+Nizami.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5433683600676156434" border="0" /></a><br /><br /><br /><br />jun nizami<br /><br />Jun An Nizami lahir di Tasikmalaya 21-02-1986. Bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST). Kadang menulis puisi dan cerpen dalam bahasa indonesia dan sunda. Puisi-puisinya pernah terlibat dalam buku antologi puisi Padang Oase (Halaman Moeka Publishing,2009), Antologi Puisi Penyair Nusantara "Musibah Gempa Padang" (Sastra dan Masjid Abdurrahman Bin 'Auf, Kuala Lumpur,2009). http://saungmurung.blogspot.com<br />"jun an nizami" <tinta_mirah@yahoo.co.id><br /><br />Sajaknya aantara lain :<br /><br /><br />Melayat Gerhana<br /><br /><br />Inong, ketika matari menggerhana, dewi keadilan telah menutup matanya dengan kain lap hitam, dengan warna kesakitan nasib kita yang temaram<br /><br />Bukan menimbang tanpa memandang, hanya sebab kaos oblong kita yang bolong tak menarik baginya, hanya sebab kaki kita bersendal jepit yang sebelah berwarna biru pudar yang lainlagi berwarna kelabu yang gemetar<br /><br />Lihat inong ketika matari menggerhana keadilan malah menyembah berhala. Dan kita mampus<br /><br />Diinjakinjak sepatu boot olympus. Inong, mungkinkah kita berharap zeus sedikit nervous agar dari bawahtanah kita bisa menyambar segala ketidakadilan<br /><br />Atau hancurkan samasekali seluruh rasa kemanusiaan?<br /><br />Lalu apabedanya kita dengan mereka?<br /><br />Inong, tapi bertanyalah mengapa mata dewi cantik itu ditutup kain, sebab bisa jadi ia adalah perban penyumbat nanah sementara ia lupa bahwa baunya semakin mengejawantah<br /><br />Maka bersabarlah inong, sementara keadilan menggerhana maka kita harus terus mengasah kata<br /><br />Kata dari baja yang ditempa di kerak neraka, atau kalimatkalimat pedas yang samasama culas dengan pengingkaran yang kelewat batas<br /><br />Inong,<br />dan bersiaplah menantang matari! seberangi laut dan parit, dengan peluh dan rasasakit. Bersama keyakinan yang telah kita rakit, untuk menjarah kembali bintang yang dijarah, dan merampok kembali sabit yang dirampok bandit<br /><br />Bawalah serta godam yang dendam, lalu hantamkan palu juga tebaskan arit<br /><br /><br /><br />2009<br /><br />Tasikmalaya, Peta Pada Dada<br /><br /><br />/1/<br /><br />Setiap pulang di dadamu aku rebah<br />Nanti pulang dalam pelukmu aku istirah.<br /><br />Rajapolah,adalah sabar ibu menganyam bulumataku,yang menjernihkan kliwon darahku yang abu,yang menafsir garis tanganku dalam kitab primbon masalalu.<br /><br />Setiap pulang di dadamu aku rebah,perjalanan yang istirah.<br /><br />Bahwa di balik gamismu telah dikuburkan ari-ariku,yang dikerubung lelembut,untuk sampaikan tawasul rintih dan bisik lembut.<br /><br />Setiap pulang disambut nyanyi-nyanyi burung,diiring tari para mojang gunung. Juga gerak salsa bocah perawan,yang centil,yang putih matanya bertabur gula dan bubuk intan.<br /><br />/2/<br /><br />Setiap pulang di dadamu aku rebah<br />Nanti pulang dalam pangkumu aku istirah.<br /><br />Selalu,para ibu yang menumbuk pikiranku di dalam lesung,dan melumuri sajak rinduku dengan adonan tepung.<br /><br />Lalu menggaunglah Pamijahan,tempat kunyalakan sajak di goa-goa,lalu di tikar buluk ku gelar bersama getar doa. Ku cuci pada laut kidul,ku lebur pada debur Pengabul. Ku erami dalam temaram Kampung Naga,sampai Citanduy yang kenalkanku linang airmata.<br /><br />Demi rinduku yang selalu melanglang. Menapak pundak tegarnya bapak, demi kubur ari-ari,demi anyaman hasil tangan ibu,dan demi jumat hari lahir juga akhirku.. Adalah di pucuk Galunggung ku letuskan adzan puncak cintaku.<br /><br />Nanti pulang dalam pangkumu aku tidur,aku berkubur. Setelah seribu kali lagi aku menjadi Petani,memanen padi dengan hati hati-hati.<br /><br />Selama merinduimu adalah undangan irama atau mendatangimu adalah lambaian panorama. Dan selama di celak mataku,segala kata-kata telah mutlak menjadi ratusan sajak. Ratusan sajak yang blingsatan.<br /><br /><br /><br />2009<br /><br /><br /></tinta_mirah@yahoo.co.id>Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-86226175097939073222008-12-29T10:23:00.000-08:002008-12-29T10:26:40.219-08:00Ihsan Subhan,<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SVkWSVysbYI/AAAAAAAABwY/C7qIz75DRSw/s1600-h/Ihsan+Subhan.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 129px; height: 150px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SVkWSVysbYI/AAAAAAAABwY/C7qIz75DRSw/s200/Ihsan+Subhan.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5285280142039215490" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">lahir di Cianjur 02 Desember 1987. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Suryakancana Kab. Cianjur Jawa Barat. Puisi-puisinya dibukukan dalam Antologi 9 Sastra Senja Penyair Cianjur “Selalu Ada Rindu” diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2006. “Setiap Menjelang Senja Mataku Tak Memandang Warna-warni Lagi Tapi…” keluar sebagai penulis kisah nyata terbaik tahun 2006, Penerbit buku Qultum Media, Jakarta. Sekarang masih aktif di Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Kab. Cianjur dan aktif sebagai pengurus di Komite Sastra Dewan Kesenian Cianjur (DKC)<br />Alamat : Jalan Limbangan Sari No. 04<br />Rt.02 Rw.14 Kp.Babakan Tipar, Desa Limbangan Sari Cianjur 43251 Jawa Barat<br />Mobile Phone : +62856 2477 4164<br /></div>E-mail : ihsanhans@yahoo.com blog : http://ihsansdawai.blogspot.com<br /><br />RIWAYAT WARNA<br /><br />aku menjelajahi merah, kuning, hijau<br />bertaut dengan keinginan yang kutatap di lembah sunyi<br />antara jam dua belas malam dan embun<br /><br />aku mencincang hitam dan putih<br />pada riwayat ombak<br />kau buih dan yang lain kelam<br /><br />pada saat kapal berlayar,<br />aku nahkoda yang berteriak dengan sapu tangan biru<br />juntai dan tergerai dengan jingganya senjaMuArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-58407742296048934662008-11-17T07:06:00.000-08:002008-11-17T07:08:52.916-08:00Mia Nadeillya<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SSGI2vtsT9I/AAAAAAAABos/x2-OWRM5raI/s1600-h/Mia.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 126px; height: 150px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SSGI2vtsT9I/AAAAAAAABos/x2-OWRM5raI/s200/Mia.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5269643513102618578" border="0" /></a><br /> <p class="MsoNormal">Mia Nadeillya, lahir di Bandung 06 Desember 1982<br />Lulusan UPI Bandung jurusan Sastra Indonesia angkatan 2000.</p> <p class="MsoNormal">Pengajar di SMK Farmasi Garut</p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p><br /></o:p>HUJAN<br /><br />Hujan telah usai<br />barangkali di sudut warung kopi, seorang basah kuyup<br />memucat,gemetar!<br />pun tetap berdaya<br />terlihat senyuman sinis , sesekali menyelimuti ujung bibirnya<br />tak ada keluhan, tak sepatahpun kata<br />kebisuannya seolah kepuasan terkubur<br /><br />Hujan membilang kerinduannya,<br />hingga mereda<br />lalu sisa-sisa rindunya tersimpan rapih kembali<br />sampai kembali<br />HUJAN!!!<br /><br /><br />TIGA TAHUN LALU<br /><br />Pagi-pagi<br />deretan embun melagukan irama seorang lelah<br />tentang:<br />kerinduan yang tiba-tiba memuncak<br />kehampaan tergesa menuju airmata<br />kepedihan yang menghampar indah<br />dan akhirnya ;<br />riang berkelebat menjauhi bumi<br /><br />genggaman tangannya terus berukir<br />di atas kertas putih, melukis perih<br />warna-warna menjadikannya sempurna; tafsir kesunyian<br /><br />seorang lelah<br />mengubur impiannya yang tak bertepi<br />terkenang :<br />tiga tahun lalu...<br />kekasihnya pergi tak bersebab<br />meninggalkan kecemasan terdiam<br />yang begitu tiba-tiba<br />yah... tiga tahun lalu<br /><br /> <!--[if !supportLineBreakNewLine]--> <!--[endif]--></p>Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-48502923976874448012008-11-17T05:53:00.000-08:002008-11-17T06:04:28.084-08:00Muhammad Syafii JMustain Ali<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SSF5pB_TBWI/AAAAAAAABn0/XlgTE7tS_fc/s1600-h/M.Syafii.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 150px; height: 127px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SSF5pB_TBWI/AAAAAAAABn0/XlgTE7tS_fc/s200/M.Syafii.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5269626784815711586" border="0" /></a><br /> <p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Muhammad Syafii Mustain Ali, lahir di Batang 17 Juli 1977. Aktifitas dibidang musik, desain grafis, periklanan dan menulis puisi. Kika Syafii aka Dexter adalah nama lain yang selalu aktif di sebuah situs internet.<br /></p> <p class="MsoNormal">Berdomisili diDepok, Jalan Akses UI gg: Jambu No. 49</p><p class="MsoNormal"><o:p><br /><br /></o:p><span style="color:blue;">Aku Jatuh Cinta<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; line-height: 140%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";font-size:100%;color:black;" >Aku ini memang mudah jatuh cinta,<br />meski harus bertumpu pada sakit hati<br />Aku tenggelam dalam alunan <st1:place st="on"><st1:city st="on">asmara</st1:city></st1:place><br />terasa sesak di dalam dada.<br /><br /><span class="fullpost">Aku jatuh cinta, terus mengimpikan dia</span><br /><span class="fullpost">hasratku merajuk, ingin menari bersama</span><br /><span class="fullpost">Aku jatuh cinta, terus mendambakan dia</span><br /><span class="fullpost">hasratku merajuk, terus mengimpikan dia</span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 140%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";font-size:100%;color:black;" ><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t75" alt="" style="'width:.75pt;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\ANOTE~1\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image001.gif" href="http://feedproxy.google.com/%7Er/BerbagiPuisi/%7E4/iSwYX7I-Rrg"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/ANOTE%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" shapes="_x0000_i1025" height="1" width="1" /><!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 12pt 0in 2.25pt; line-height: 115%;"><span style="font-size:100%;"><a href="http://feedproxy.google.com/%7Er/BerbagiPuisi/%7E3/a5iT1NHeaC0/peter-dan-tukang-masak.html" target="_blank"><span style=";font-family:";" >Peter dan Tukang Masak</span></a></span> </p> <p style="line-height: 140%;"><span style="font-size:100%;"><a href="https://feedads.googleadservices.com/%7Ea/vAIf3rnQWE6MXZNcf8XRdaKSIis/a" target="_blank"><span style="text-decoration: none;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1026" type="#_x0000_t75" alt="" style="'width:.75pt;height:.75pt'" button="t"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\ANOTE~1\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image001.gif" href="https://feedads.googleadservices.com/%7Ea/vAIf3rnQWE6MXZNcf8XRdaKSIis/i"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/ANOTE%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" ismap="ismap" shapes="_x0000_i1026" border="0" height="1" width="1" /><!--[endif]--></span></a></span></p> <p style="line-height: 140%;"><span style="font-size:100%;">Peter pernah bertanya kepadaku,<br />setelah sekian lama dia menjulangkan pikirannya,<br />"Aku sudah melakukannya untuk semua cinta,<br />tetap saja aku seperti lari dari kenyataan..?!",<br /><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >Aku berpikir, mungkin peter sudah benar, </span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >atau mungkin jalannya tidak menunjukkan benar,</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >atau bahkan pikirannya tidak bisa benar.</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >Aku belum bisa menjawab...!</span></span><span style="font-size:100%;"><br /><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >Coba aku alihkan pandangan pada robert si tukang masak,</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >mungkin ada jawaban dari tatapan punggungnya,</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >aku pandang lagi untuk memperjelas keterangannya,</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >namun terpampang ejekan bahwa aku sama bodoh..!</span></span><span style="font-size:100%;"><br /><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >Sendau gurau, tetabuhan lambang dan riangan kembang,</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >selalu menemani saat aku harus kembali berdiri bingung,</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >dan kali ini mereka menyentuh peter agar menengok,</span></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >dan tidak lagi menanyakan itu padaku.</span></span><span style="font-size:100%;"><br /><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >Karena aku suka dia. </span></span><span style="font-size:100%;"><br /><br /></span><span class="fullpost" style="font-size:100%;"><span style="line-height: 140%;font-family:";color:black;" >Depok, November 2008</span></span><span style="line-height: 140%;font-family:";font-size:10;color:black;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-78494534294979436002007-11-29T04:20:00.000-08:002008-11-17T09:47:18.537-08:00Baequni<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SSGuBIPrYTI/AAAAAAAABo0/dqmVDYhsqD8/s1600-h/Baequni.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 169px; height: 200px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SSGuBIPrYTI/AAAAAAAABo0/dqmVDYhsqD8/s200/Baequni.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5269684373416534322" border="0" /></a><br /><br /><div align="center"> <span style="font-size:130%;">Baequni </span></div><div align="center"><span style="font-size:130%;"><br /></span>Tempat/Tgl Lahir : Cirebon, 19 Juli 1975<br /><br />Pengalaman : - Deklarator P'Kad (Pecinta Kartun Dakwah) UMY 1998<br />- Deklarator Komunitas Seniman Santri (KSS) Cirebon 2005<br />- Ketua Sanggar SAROENG KSS, Cirebon<br />- Pemecah Rekor MURI "Pembaca Puisi Tunggal terlama<br />48 Jam Nonstop", Cirebon 2005<br />- Kartunis Majalah LaDuni (Pesantren Babakan Ciwaringin<br />Cirebon)<br />- Karya Antologi Puisi Pertama "Aku dan Singa Tua"<br />Renaisan, Jakarta, Maret 2007<br /><br /><div style="text-align: left;">TENTARA DI KOTA STALINGRAD<br /><br />Bau busuk dari daging-daging yang menggeletak<br />Tertembak atau terkena granat sama-sama tak bergerak<br />Seandainya ada yang sempat mengucap<br />Bibir mereka hanya berisi rintihan meminta<br />atau menyebut nama, nama yang tak pernah menolongnya<br />Mereka bukan pengecut<br />Mereka juga bukan berani mati<br />Mereka hanya menuruti perintah<br />Berperang karena perintah!<br />Berbaris karena perintah!<br />Menembak karena perintah!<br />Membunuh karena perintah!<br />Sampai kelaparan pun karena perintah!<br />Semuanya karena perintah<br />Dalam ketakutan mereka mengadu<br />Sesekali mereka berdoa pada selongsong peluru<br />Selamatkan kami! atau kembalikan kami!<br />Lelah dan payah seringkali berbagi rasa<br />Mereka pasrah seperti takdir yang jarang membela<br />Berlinang darah mereka menoreh sejarah<br />Di musim salju yang dipenuhi ribuan nyawa<br />Senandung perang memang tak pernah indah<br />Meskipun suara meriam terdengar begitu meriah<br />Hanya nyanyian prajurit yang selalu menjerit<br />Merelakan airmatanya yang kian menukik<br /><br /><br />Baequni<br />Inspirasi dari buku "NERAKA di STALINGRAD", Cirebon, 2007</div></div>Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-66793719777550831772007-10-11T07:46:00.000-07:002011-05-22T05:48:15.808-07:00Yopi Setia Umbara<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-7girv1fFWtQ/TdkF3_b1VzI/AAAAAAAADVc/gXUKneJZsro/s1600/Yopi%2BSetia%2BUmbara.tif.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 138px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-7girv1fFWtQ/TdkF3_b1VzI/AAAAAAAADVc/gXUKneJZsro/s200/Yopi%2BSetia%2BUmbara.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609521270345783090" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Yopi Setia Umbara ddilahirkan di Bandung pada 30 Maret 1984. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia, aktif bersastra di Arena Studi Apresaiasi Sastra (ASAS) UPI, membaca puisi bersama ULa (Marginal Poetry Readers). Tercatat juga sebagai anggota Komunitas Sastra Bandung Utara (KSBU). Penggiat Jurnalzine RajaKadal, sebagai Redaktur. Salah satu puisi:<br /></div><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"><br /><br />Mozaik Ibu</span></span><br /><br />Adalah cinta<br />:setiap tetes air susumu mengajarkan jejak<br />nafas yang kau pungut dari usia. hanya<br />senja mengurai setiap helai rambutmu<br />menjadi uban di kursi goyang,<br />meninabobokan keluh.<br />Seperti mozaik di matamu<br />:kepingan mimpi dan harapan terangkai<br />menjadi satu ujaran bijaksana,<br />tentang perih liku hidup;<br />senyummu bagai nadi, tak pernah putus<br />Engkaulah gradasi warna langkah<br />:tertata meski semakin renta.<br />telah yakin memenuhi jiwa. hingga<br />tak pantas untuk didusta,<br />apalagi terus diminta.<br /><br />2005Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-31585440522672866672007-10-11T07:44:00.000-07:002007-12-17T21:05:58.483-08:00Yadi Mulyadi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/R2dVCnYElfI/AAAAAAAAAgs/yrCVwFGWvBI/s1600-h/a-Yadi+Mulyadi.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="http://4.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/R2dVCnYElfI/AAAAAAAAAgs/yrCVwFGWvBI/s200/a-Yadi+Mulyadi.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5145174602712126962" border="0" /></a><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style=";font-family:ScraperSSK;font-size:24;color:black;" >Yadi Mulyadi</span><!--[if supportFields]><span style="'font-family:ScraperSSK;mso-bidi-font-family:ScraperSSK;font-size:24.0pt;"><span style="'mso-element:field-begin'"></span></span>tc "<span style="'font-family:ScraperSSK;mso-bidi-font-family:ScraperSSK;font-size:24.0pt;">Yadi Mulyadi</span><span style="'font-family:">"</span><![endif]--><!--[if supportFields]><span style="'font-family:ScraperSSK;mso-bidi-font-family:ScraperSSK;font-size:24.0pt;"><span style="'mso-element:field-end'"></span></span><![endif]--><span style=""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 13.2pt;" align="center"><span style="">(<st1:place st="on"><st1:city st="on">Bandung</st1:city></st1:place>)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 13.2pt;"><span style=""><o:p><br /><br /></o:p></span>L<span style="">ahirkan di Tasikmalaya 1982. penulis sedang mengikuti berbagai aktifitas kepenulisan dan jurnalistik diantaranya di BATIC ICMI <st1:place st="on"><st1:city st="on">Bandung</st1:city></st1:place>. Belajar mengolah kata bersama <i>komunitas independent Selasar dan qalam Rata.</i> Sekarang dipercaya sebagai Pemred bulettin <i>qalam Rata </i>Salah satu puisinya :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style=""><o:p> </o:p></span><span style="font-size:100%;"><br /></span><span style=";font-family:ScraperSSK;font-size:100%;color:black;" >Ketika Naluri<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style=""> <o:p></o:p><br />kenapa aku berharap dengan semua naluri<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">yang memanas dalam rintihan sukmaku<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style=""> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">kulambaikan tangan kejiwaan pada arwah-arwah<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">yang terbuang diantara lorong-lorong sampah<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">kuziarahi semuanya dengan kucuran air mata<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">yang mengalir tiada henti<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style=""> <o:p></o:p><br />aku bahkan tak tahu jalan yang ditempuh seluruh arwah<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">ketika datang menjumpaiku<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">ketika kamarku terbelenggu dengan jeruji besi yang mengarat<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">ketika aku terpatok dengan kayu-kayu jati yang melintang<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">membayangi setiap lirik cahaya yang masuk<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">ketika hidupku yang keras mendobrak seluruh jendela<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">ketika arwah besar menelanjangi jalinan benang<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">yang menempel erat di atas ari yang menipis<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="">ketika geraman arwah mengikuti aliran kandung kemih yang menjalar<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style=""> <o:p></o:p><br />ketika aku berharap dengan semua naluri<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 13.2pt;"><span style=""> <o:p></o:p></span><span style="font-size:100%;"><br /><i><span style="">panyawangan,</span></i></span><span style=""> 2004<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 13.2pt;"><span style=""><o:p> </o:p></span></p>Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-60175552294707834952007-10-11T07:42:00.000-07:002011-05-22T05:58:56.098-07:00Tresna Ismaya<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-u2hBD97JdNE/TdkIVXB7ksI/AAAAAAAADVk/CvqAwkdzdAk/s1600/Tresna%2BIsmaya.tif.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 147px; height: 200px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-u2hBD97JdNE/TdkIVXB7ksI/AAAAAAAADVk/CvqAwkdzdAk/s200/Tresna%2BIsmaya.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609523973919052482" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Tresna IsmayaLahir di Bandung pada tanggal 25 Maret 1985 dari rahim seorang ibu yang menyukai puisi. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI yang senang berkawan ini kini tengah merintis skripsi tentang Filologi. Ia pun sempat aktif di Hima Satrasia dan membaca puisi bersama QOEJA art club. Selain aktif di ASAS UPI dan komunitas Selasar aktif juga sebagai staf redaksi di bulletin Qalam Rata dan di Folklore Institute. Salah satu puisinya :<br /></div><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"><br /><br />Ibu </span></span><br /><br />adalah sebuah rekaman terlengkap tentang gambar kehidupanku<br />adalah petuah dalam bersikap<br />adalah tanda, dimana aku harus bepijak<br />adalah penjaga dari topan yang menghempas<br />adalah pentunjuk menuju sungai madu<br />ibu<br /><br />13 Desember 2005Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-7980076353805789372007-10-11T07:40:00.000-07:002011-05-22T06:04:01.409-07:00Sigit Rais<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SSGxVzJXjKI/AAAAAAAABpM/7-0AHNtU9oU/s1600-h/Sigit+Rais.tif.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 147px; height: 200px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_dgNcElyhNa0/SSGxVzJXjKI/AAAAAAAABpM/7-0AHNtU9oU/s200/Sigit+Rais.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5269688027065060514" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Sigit Rais lahir di Bandung, 22 Desember 1984, masih kuliah di program Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI. Menulis (puisi, cerpen, dan esai), melukis, dan berseni peran. Tulisannya pernha di publikasikan dalam Pikiran Rakyat, Radar Bandung, bandung Post, Fantasi, BEN!, Buletin Literal, majalah Islam Message, www. Sarikata.com, Dinamika & Kriminal, Cinta Pertama (Insist, 2005), roh: antologi puisi penyair bali-jawa barat (bukupop, 2005), antologi puisi Pagi di Buntiris (Selasar, 2005), dan antologi puisi tunggal Parade Kegelapan (2005). Pada tahun 2004 salah satu puisinya terpilih sebagai juara 2 dalam lomba yang diadakan oleh Institut Perempuan dan Unicef. Tergabung ke dalam Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI, Mnemonic Gank Mnuliz, QOEJA art club, komunitas SELASAR, Terase 06, komunitas Ruang Aksara, sebagai redaktur cerpen buletin Qalam Rata, dan mengelola media independen Selasar. Di bidang seni peran pernah mementaskan drama Epilepsi (1996), Masyitoh Abad 21 (2000), Cerita Cinta (2001), BOM (2002), Sisit Kadal (2004), Petang di Taman (2005), dan sejumlah pementasan dramatisasi puisi, kabaret, dan performance art. Salah satu puisinya :<br /></div><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Episode Kelahiran</span></span><br /><span style="font-style: italic;">untuk perempuan hebat yang melahirkan aku dan saudara-saudaraku</span><br /><br />1983-kelahiran senyum ranum-<br />tangan-tangan takdirlah yang memisahkan Nakula dan Sadewa. O, garis nasib dipucuk mimpi, perpisahan mereka terlalu dini.<br />“bunda, aku pergi. Jangan galau masih ada saudaraku tertanam di istana rahimmu”<br />o, ada senyum ranum di gumpal darah merah. Tetesan beku itu berkata-kata tentang pisah yang akan berbalas pertemuan. Suatu saat nanti<br /><br />1984-kelahiran di pematang hari-<br />langit dipayungi sayap bidadari.<br />di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang<br />telah menyempurnakan keperempuannya<br />kedatangannya adalah gempita cinta di<br />mata bunda. Timang sayang, o, lelaki suci di pematang pagi<br />berselimut ribu-ribu mimpi, bertahta cahaya di altar sarat do’a<br />timang sayang, o, lelaki suci di pematang pagi<br />lihatlah, di situ ada jalan setapak. Jalan sunyi yang diarungi sendiri<br />o, lelaki suci di pematang pagi<br />“jangan pergi sendiri!”<br /><br />o, lelaki suci di pematang pagi, pergi sendiri bersama empat matahari<br />kematian terlalu dini, lelaki berwujud mimpi!<br />malam datang bersama malap cahaya bulan mati<br />perempuan itu kini ditikam sunyi<br />“anakku telah pergi.”<br /><br />1984-kelahiran pengemban imajinasi-<br />adakah senja jadi saksi pasti atas kedatanganku di riuh hari?<br />ingatlah!<br />di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang<br />telah menyempurnakan keperempuaannya<br />sebagai ibu atas benih lelaki sehidup semati<br />muncrat keringat campur darah hebat di ketegangan urat<br />tangis menyengat penat; ini saat yang tepat, saya yang dinanti<br />“anakku telah kembali!”<br />suci bayi suci, o, pengemban imajinasi. Itu aku<br />mereguk cinta bunda dari perempuan bermata permata<br />astaga, bayi itu tak lagi jadi bayi<br />“jangan pernah pergi lagi !”<br /><br />1987- kelahiran bidadari bunga-<br />o, belahan jiwa bunda. Di mata itu ada prasasti semesta jiwa<br />segala penjuru adalah padanya. O, belahan jiwa bunda<br />bidadari bunga menari di galau hati. Ingin dicinta dan mencinta<br />“jangan pergi, tetap di sisi”<br />bidadari bunga merasa degup hidup meletup. Nyaris lupa pada isak<br />serak seorang bunda saat beranak.<br />Hai ingatlah! di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang<br />telah menyempurnakan keperempuanannya.<br />“kembalilah menyemai benih cinta bersamaku<br />agar tumbuh menjadi bunga di sepanjang hidupku”<br /><br />1994-kelahiran pamungkas-<br />senyap malam membungkus kemukus, wahai penina-bobo malam<br />sudah hampir pagi. Di tengah rasa sakit yang tak bisa ditawar lagi<br />lelaki sehidup semati datang torehkan arti<br />o, bibir pagi yang jadi saksi pasti<br />d itu ada rintih sakit seorang perempuan yang<br />telah menyempurnakan keperempuanannya. Ibu semesta jiwaku<br />Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar...<br />kumandang terang adalah senandung cinta perempun bernama bunda<br />“ini cinta adalah nyawa dari ikatan kita<br />jadilah matahari yang terbit di mula hari!”<br />bunda, kami ingin selalu di sisimu<br /><br />14/12/05Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-24845572160786284172007-10-11T07:39:00.000-07:002011-05-22T06:08:39.476-07:00Sarabunis Mubarok<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-6ycDHBaABWc/TdkKuMr-6pI/AAAAAAAADVs/bF3l9Cngzjs/s1600/sarabunis%2Bmubarok.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 165px; height: 200px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-6ycDHBaABWc/TdkKuMr-6pI/AAAAAAAADVs/bF3l9Cngzjs/s200/sarabunis%2Bmubarok.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609526599662627474" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 13 April 1976. Alumni Pondok Pesantren Al-Hikmah, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Menulis puisi dalam bahasa Sunda dan Indonesia, dipublikasikan di berbagai media massa seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan lain-lain, juga di beberapa situs internet seperti Cybersastra, #Sastra-Pembebasan#, Esso Wenni, dsb., serta di beberapa media cetak berbahasa Sunda seperti Mangle, Galura, Cupu Manik dan lain-lain. Termuat juga dalam beberapa antologi bersama seperti Antologi Puisi Jabar-Bali, ROH, (Bukupop Jkt, 2005), Mahaduka Aceh (Jkt, 2004), #sastra-pembebasan# (Damar Warga, Jkt, 2004), Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), Poligami (SST, 2003), Muktamar (SST, 2003), Hijau Kelon dan Puisi 2002 (Kompas, 2002), Orasi Kue Serabi (Gedung Kesenian Tasikmalaya, 2001), Bandung Dalam Puisi (Jendela Seni Bandung, 2001), serta dalam antologi berbahasa Sunda Ti Pulpen Tepi Ka Pajaratan Cinta (Kiblat, Bdg, 2002) dan antologi puisi-prosa Sunda Heulang Nu Ngajak Bengbat (Kiblat, Bdg, 2005). Mendapat hadiah sastra dari Lembaga Basa & Sastra Sunda (LBSS) untuk bidang puisi tahun 2001. Aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST), Komunitas Azan, Komunitas Sastra Sunda LANGARI (Panglawungan Pangarang Kiwari) dan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BP-GKT). Kini tinggal & bekerja di kampungnya di Tasikmalaya. Salah satu puisinya :<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Ketika Tinta Menjadi Musuh Penyair</span> </span><br /><br />Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur sibuk<br /><br />mengolah kertas layangan untuk diapungkan bersama<br /><br />kegembiraan yang mengerat masa silam. Kata-kata<br /><br />berlarian di kawat telpon, berterbangan menunggangi<br /><br />gelombang radio, televisi dan internet. Segala komando<br /><br />menukik ke ulu hati, menggeser posisi ayat-ayat suci,<br /><br />meruncing dan melukai kecerdasan yang tersisa.<br /><br /><br />Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur bersepakat<br /><br />menanam ganja di halaman rumah yang dipagari dalil-dalil<br /><br />kitab suci. Di setiap musim biru, anak-anak melukis wajah<br /><br />sendiri di jalan buntu. Sarang laba-laba, kepala ular naga,<br /><br />aurat wanita muda, meringkus kepala dan menyundul<br /><br />doa-doa ke liang kubur yang menjelma kamar-kamar<br /><br />hotel dengan pintu bermuka dua.<br /><br /><br />Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur menanak<br /><br />sekam untuk disuguhkan menemani botol bir, musik disko,<br /><br />dan bola mata yang berjatuhan ke paha-paha pramuria. Tak<br /><br />ada kata yang mengucur dari segelas anggur, kecuali salak<br /><br />anjing yang bersahutan dengan suara adzan. Pada daging<br /><br />usia yang menghitam, berahi akan menikam, sementara otak<br /><br />kiri mengirim salam pada mesin-mesin yang bergumam.<br /><br /><br />2002.Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-72569428990707926342007-10-11T07:37:00.000-07:002011-05-22T06:17:48.490-07:00Rian Angkasa Pinem<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-H9buv0bfFW0/TdkM6JKuZHI/AAAAAAAADV0/dPOtqbRKzw0/s1600/Rian%2BAngkasa%2BP.tif.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 139px; height: 200px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-H9buv0bfFW0/TdkM6JKuZHI/AAAAAAAADV0/dPOtqbRKzw0/s200/Rian%2BAngkasa%2BP.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609529003899511922" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Bandung 24 Pebruari 1985, tinggal di Jl Moch Toha Gg Mesjid No 30/201 B Kel Karasak-Bandung (40243), merupakan alumnus MAK Ma’had Baitul Arqom Al-Islami Ciparay-Bandung yang kini sedang melanjutkan studi kuliah S1-nya di UPI Bandung Jurusan Bahasa & Sastra Indonesia Angkatan 2003, dan kini menjabat sebagai ketua HIMA SATRASIA-UPI periode 2005-2006, juga sebagai anggota aktif UKM Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), dan Komunitas Barzanji (KOBAR). Salah satu puisinya :<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Catatan Indonesia Di Pagi Hari</span></span><br /><br /><br />ada selaut air mata mengalir ke dada pertiwi<br /><br />rumah-rumah kecil menghilang tanpa puing<br /><br />perut seorang anak perih karena luka menangis<br /><br />melihat wajah ibunya di sentuh serangga-serangga anyir<br /><br /><br />sisa air sungai memandikan tubuh kota<br /><br />kehidupan tak lagi bernama karena luka<br /><br />kekayaan kita tinggal sejarah nenek moyang<br /><br />karena alam semakin sakit memikul keserakahan<br /><br /><br />nyawa-nyawa menjadi harga pasar tradisional<br /><br />memang tak pernah kita berpikir untuk hidup<br /><br />karena hari ini adalah surga yang berkeping-keping<br /><br />padahal prahara hidup mengerucut di ujung nafas kita<br /><br /><br />para ulama sibuk berebut kursi di istana mainan anak TK<br /><br />melupakan warisan leluhur para kekasih agung<br /><br />pergantian episode menjadi mengasyikan untuk di tonton<br /><br />sebagai rakyat yang baik tentu tak diam saja<br /><br /><br />tak ada lagi cerita pahlawan kemerdekaan<br /><br />hanya penjahat reformasi meneriakan keadilan<br /><br />panglima kita telah banyak mati karena mulutnya sendiri<br /><br />berharap keabadian datang dari janji-janji istimewa<br /><br /><br />BBM, sembako, dan pendidikan mengancam si miskin<br /><br />sedang harta kita terus di jarah para lintah domestik dan asing<br /><br />mereka tak perduli dengan semboyan dan kaidah kemanusiaan<br /><br />yang penting menanam akar kemewahan tanpa batas dan nalar<br /><br /><br />mungkin kita sudah melupakan keindahan yang haqiqi<br /><br />terlena dengan bentuk kecantikan sebuah fatamorgana<br /><br />suatu saat tsunami pun belum cukup untuk dirasakan<br /><br />begitu pun kiamat yang disiratkan jauh-jauh sebelumnya<br /><br /><br />kuburan kita tak akan pernah sama<br /><br />begitu pun cinta kita untuk siapa<br /><br /><br />Kobong Sunyi, 6 Mei 2005Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-18664980754264221432007-10-11T07:35:00.000-07:002011-05-22T06:21:59.738-07:00Rizki Sharaf<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-ZGTe5BzzdAA/TdkN6I0xfvI/AAAAAAAADV8/una07ewHMso/s1600/Rizki%2BShaff.tif.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 139px; height: 200px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-ZGTe5BzzdAA/TdkN6I0xfvI/AAAAAAAADV8/una07ewHMso/s200/Rizki%2BShaff.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609530103319068402" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Mendeklarasikan dirinya sebagai penyair pada tanggal 29 April 2005 di depan sekretariat Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Gd Pentagon Lt III dalam acara WanMenSow- Sebuah Deklarasi Kepenyairan. Sedang menyelesaikan studi di Jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Karyanya termuat dalam Jurnalzine RajaKadal dan “ROH” Antologi puisi Penyair Jawa Barat-Bali. Sekarang Mencoba memimpin redaksi media terbitan ASAS : DERAS. Salah satu puisinya:<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Tangis Pengemis</span></span><br /><br /><br />Airmata mengalir<br /><br />jadi air bah.<br /><br />Semua hanyut<br /><br />oleh kesakitan anak kecil<br /><br />yang hilang bapak-ibunya,<br /><br />bergayut pada kaleng kosong<br /><br />sebagai sampan<br /><br />penadah rupiah<br /><br /><br />Uang tak bisa hentikan tangisan Tuan!<br /><br />Silakan berlalu-lalang<br /><br />bersama dompet yang enggan<br /><br />melepas lajang.<br /><br /><br />Dia tidak untuk dipandang,<br /><br />tapi untuk direnungkan.Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-73451563606606255332007-10-11T07:33:00.000-07:002011-05-22T06:29:27.702-07:00Muhammad Tajuddin<div style="text-align: justify;">Lahir di Sumenep, 20 Januari 1970. Pendidikan Tarbiyatul Mu’allimin Al – Islamiyah (TMI) 1989, Al-Ma’had Al-‘Aly/Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) 1991, tidak selesai. Mengikuti Komunitas kesenian Sanggar Sastra Al-Amien, Madura (1986-1991), Teater HILAL, Madura, (1986-1991), Forum Sastra Indramayu (FSI) 1995 - 1998, Komunitas Sastra Majalengka (KSM), 1999 - sekarang. Karyanya dimuat dipelbagai media cetak antara lain: Berita Buana, Republika, Pelita, Horison dan lain-lain. Antologi Puisi Bersama antara lain : Sajak-Sajak Malam (1987), Deru I’tikaf (1989 ), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Sebutir Mutiara di Atas Pasir Sepantai (1996), Langgam Kota Angin (1999). Dan lain-lain. Buku terjemahan antara lain : Setetes Parfum Wanita<br />(1993), Manusia Dalam Tiga Dimensi (1994) dan lain - lain. Salah satu puisinya :<br /></div><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Namaku Air</span></span><br /><br />Namaku air. Aku mengalir dalam tubuh sungai<br />Mengarak rohku dari hulu firman-Mu menuju<br />Laut. Aku memasuki tulang badai. Aku berguncang bersama<br />Ikan-ikan yang lapar. Merindu. Menari-nari hingga gila<br />Aku muntah dan berputar mengelilingi lukisan kosong<br />Namaku tetap air. Betapa dalam cahaya matahari. Lalu<br />Aku menjelajah menapak langit. Tubuhku disapa angin<br />Lebur mengikuti musim. Bermanja-manja dalam cuaca. Aku<br />Menunggal dalam udara. Berjalan bersama arakan awan<br />Aku letih. Menjelma mendung. Aku akan kembali ke kelahiran<br />Abadi. Maka namaku kini hujan. Aku berjalan. Aku air<br />Yang kekal dalam tubuh pohon. Aku tidur di akar-akar<br />Aku juga menjelma bungaArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-13139110491333612012007-10-11T07:32:00.000-07:002011-05-22T06:32:12.685-07:00Melody Muchransyah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/--At4WjEWh5U/TdkQR9qWRWI/AAAAAAAADWM/oWC6WvamfbI/s1600/Melody2.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 150px; height: 200px;" src="http://1.bp.blogspot.com/--At4WjEWh5U/TdkQR9qWRWI/AAAAAAAADWM/oWC6WvamfbI/s200/Melody2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609532711662667106" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Bogor, 26 Juni 1987. Nama sebenarnya Azalia Pramaditha mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok (2005 - sekarang). Karya-karyanya dipublikasikan antara lain : Novel Mak Comblang :The Rule To Get Love Terrant Books (2005), majalah Plant OK :UPTOWN GIRL (2001), majalah Kawanku :Gara – Gara Dhanya (2004),Hand Phone Merah Imel (2004), Ramadhan Kali Ini (2005), majalah Go Girl : Plagiat (2004), majalah Aneka Yess : Rahasia Rani (2005), Kado Ulang Tahun Mama (2005)dan lain – lain. Cerpennya Sebuah Jurnal Dari Masa Depan menjadi The Best Three Cocling penulisan cerpen majalah Kawanku (2004). Salah satu puisinya :<br /></div><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Bila Cintamu Pergi</span></span><br /><br />pernahkan engkau rasa jiwamu melayang entah ke mana,<br /><br />sedangkan ragamu tetap menjadi penghuni dunia yang tinggal dan menuju mati?<br /><br />itulah rasanya bila cintamu pergi...<br /><br />hatimu bagai tercabik dua,<br /><br />dan bagian yang lebih besar ikut mengabur bersama cinta yang tlah berlalu,<br /><br />meninggalkan secuil potongan yang lebih kecil<br /><br />dengan memori dan kenangan indah yang kini terasa pahit...<br /><br />ya, inilah penderitaan terbesar<br /><br />yang bermula dari sebuah keagungan cinta...<br /><br />lalu saat perlahan kau coba kuatkan diri,<br /><br />satukan semua keping hati yang tlah hancur,<br /><br />saat itulah kau sadari,<br /><br />ia tidak benar-benar pergi,<br /><br />ia akan abadi,<br /><br />dalam potongan kenangan yang muncul di sudut-sudut kehidupan...<br /><br />saat itu kau akan tersenyum,<br /><br />dalam tangis...<br /><br /><br />Bogor, 21 November<br /></div>Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-54436189870919810872007-10-11T07:28:00.000-07:002011-05-22T06:36:09.231-07:00Kiki Turki<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-2c1m4PFpMAA/TdkRObYI5KI/AAAAAAAADWU/pmSATAb90cY/s1600/Kiki%2BTurki.tif.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 153px; height: 200px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-2c1m4PFpMAA/TdkRObYI5KI/AAAAAAAADWU/pmSATAb90cY/s200/Kiki%2BTurki.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609533750431507618" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Cirebon, 23 Januari 1979. Beberapa Puisinya terdokumentasi dalam bunga rampai Jiwa-Jiwa Mawar, Pesona Musim Gemilang II (Perempuan penyair Indonesia II). Pernah menjadi Juara I Lomba Cipta Puisi Religius Tingkat Nasional yang diadakan oleh STAIN Purwokerto pada tahun 2002. Menulis puisi di beberpa media massa dan kini menjadi salah satu staf pengajar di SMP Negeri 2 Losari Cirebon Jawa Barat. Puisi - puisinya antara lain :<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Surat Untuk Kekasih I</span></span><br /><br /><br />Di malam sunyi ku terbangkan daun-daun doa<br /><br />Sampaikan pesanku pada-Mu ?<br /><br />Kekasih, aku alpa pada-Mu<br /><br />Tapi tidakkah Kau ampuni aku<br /><br /><br />2004<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Surat Untuk Kekasih II</span></span><br /><br /><br />Kekasih, hari ini aku marah pada-Mu<br /><br />Lima kali aku menelpon-Mu<br /><br />Dan dua kali aku sms pada-Mu<br /><br />Tapi Kau acuhkan aku<br /><br /><br />2004<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Surat Untuk Kekasih III</span></span><br /><br /><br />Kekasih ….<br /><br />Hari ini aku menelpon-Mu kembali<br /><br />Jawablah walau sekedar veronica !<br /><br /><br />2004<br /><br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Surat Untuk Kekasih IV</span> </span><br /><br />Semakin aku mengingat-Mu<br /><br />Semakin aku rindu pada-Mu<br /><br />Kekasih, aku tak mau bercerita selain pada-Mu<br /><br />Karena Kau kekasih !<br /><br /><br />2004Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-49795886381007485062007-10-11T07:27:00.000-07:002011-05-22T06:39:36.598-07:00Hasan Bisri BFC<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-y5lVyCFWBNw/TdkSCFCKeMI/AAAAAAAADWc/R_XxNlxc6Jc/s1600/Hasan%2BBisri%2BBFC.tif.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 131px; height: 200px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-y5lVyCFWBNw/TdkSCFCKeMI/AAAAAAAADWc/R_XxNlxc6Jc/s200/Hasan%2BBisri%2BBFC.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609534637786953922" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Pekalongan, 1 Desember 1963. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (1989) kemudian menempuh pendidikan lanjutan di Fakultas Film dan Televisi Queensland University of Technology, Brisbane. Selama bekerja di TPI banyak memperoleh kesempatan workshop dan seminar penyutradaraan dan penulisan skenerio di mancanegara (Jepang, Singapura, Malaysia, Australia). Antara lain mengikuti Scriptwriting workshop : Serial Drama for Social Development di Neval (1997). Salah satu Dewan Pendiri Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Tulisannya berupa artikel opini,feature, penelitian, wayang mbeling, humor, cerpen, puisi, skenario, esai, resensi Film dimuat di berbagai media massa seperti di Republika, Gadis, Jawa Pos, Surabaya Post dan lain - lain. Antologi Cerpen dan Puisinya Himpunan Pencinta Cerpen dan Puisi (1985), Paradigma(1987), Gumaman dari Balik Layar 1 (1993), Trotoar (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Resonans Indonesia (2000), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (2000), Graffiti Imaji (2002). Beberapa skenarionya diproduksi untuk Asia - Pacific Broadcasting Union, UNESCO dan Unicef. Aktif mengikuti diskusi sastra dan budaya serta baca puisi di Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand Selatan, Serawak, Brunei Darussalam. Salah satu puisinya :<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">200 Tahun Mencari Cinta</span></span><br /><br /><br />karena asyik memuja nafsu dan berhala<br /><br />maka Adam dan Hawa diturunkan dari surga<br /><br />dan musuhmusuh manusia<br /><br />memisahkan mereka<br /><br /><br />inilah kisah cinta abadi<br /><br />manusia pertama<br /><br />200 tahun mencari cinta<br /><br />khuldi mengantarkannya<br /><br />pada sepi paling abadi<br /><br /><br />inilah kisah abadi<br /><br />hamba yang lalai dan lupa<br /><br />200 tahun mencari cinta<br /><br />di sudutsudut dunia<br /><br />di puncakpuncak semesta<br /><br /><br />dan Tuhan tak pernah menguji<br /><br />melebihi kekuatan hambanya<br /><br />maka Jabal Rahmah<br /><br />menjadi Puncak Cinta<br /><br />setelah 200 tahun dipisahkannya.<br /><br /><br />2004Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-75676680838824160402007-10-11T07:25:00.000-07:002011-05-22T06:43:45.908-07:00Fina Sato<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-MFppW4qA92M/TdkS3pnj_YI/AAAAAAAADWk/3h4LCRJ_w4w/s1600/Fina%2BSato.tif.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 136px; height: 200px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-MFppW4qA92M/TdkS3pnj_YI/AAAAAAAADWk/3h4LCRJ_w4w/s200/Fina%2BSato.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609535558140558722" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Subang, 16 Februari 1984. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung. Menulis cerpen, naskah drama, esei, sajak dan membuat drawing. Aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung, MnemoniC-gank mnuliz-, Komunitas Selasar, Ruang Aksara , Komunitas Babad Bumi, dan melukis di Sanggar Ligar Sari Baksil, Bandung. Beberapa karyanya perrnah dimuat di Leterat, Raja Kadal-Jurnal Zine- BEN! Media Luar Biasa, Qalam Rata, Majalah Sastra Horison, Pikiran Rakyat, Suara Pembaharuan, Surat Kabar Dinamika dan Kriminal (Lampung), Mjalah Budaya Aksara, Jurnal Sundih (Bali), cybersastra net, penulislepas com, sarikata com, juga antologi puisi bersama Dian Sastro for President - End of Trilogy-(2005), ROH-Kumpulan Puisi Penyair Bali - Jawa Barat (2005), dan Sebuah Kado Pernikahan-Kumpulan puisi dwitunggal bersama Dian Hartati (2005). Cerpennya “Lelaki Dipopor Senapan” masuk 13 cerpen terbaik dalam Sayembara Cerpen Suara Mahasiswa 2005. Salah satu puisinya :<br /><br /></div><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Kuserahkan Tubuhku Pada Kesunyian</span></span><br /><br /><br />dan bila jalanan, lampu-lampu kota<br /><br />berteriak lagi, yang tersisa kemudian hanyalah serpihan luka<br /><br />di ujung bibir yang menggigir<br /><br /><br />tiada suara yang mengeruh sunyi<br /><br />tak lagi jawab memecahkan gendang sunyi tubuh<br /><br />yang terperangkap terali<br /><br /><br />malam ini di dingin tubuhmu yang berbalut kesunyian<br /><br />kuserahkan tubuhku pada tanya<br /><br />(tubuhku dan tubuhmu)<br /><br />sebagian nisan yang berlumut hitam<br /><br />dalam permainan tuhan<br /><br /><br />terus bisu<br /><br />tak selalu sisakan perih mengadu<br /><br />lalu tersenyum dalam dekapan<br /><br />pelan kelam<br /><br /><br />(dan tubuh kita)<br /><br />masih bermain pada tanya<br /><br /><br />bumi singgah,2004Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-11739454833282730642007-10-11T07:22:00.000-07:002011-05-22T06:46:47.560-07:00Boufath Shahab<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-gr2JoAFDzKg/TdkTsSxt_0I/AAAAAAAADWs/uAgpCKykpoA/s1600/Boufath%2BShahab.tif.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 133px; height: 200px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-gr2JoAFDzKg/TdkTsSxt_0I/AAAAAAAADWs/uAgpCKykpoA/s200/Boufath%2BShahab.tif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609536462542208834" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Jember, Jawa Timur, 22 Maret 1967. Meski jarang di publikasikan di media cetak, kecuali pernah dimuat di harian Sinar Harapan, tapi terus saja menulis. Sejak dari Bali hijrah ke Jakarta, bermain musik di beberapa cape’ dan sempat bergabung di teater Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaet. Selama lima tahun sejak tahun 1997 mengadakan perjalanan berkeliling dan bekerja di beberapa Negara Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa, dan terakhir di Australia. Kembali ke Jakarta pada tahun 2002, bersama beberapa teman mendirikan komunitas Mentereng Dewan Sastra Gang Masjid itu sekali dalam seminggu menggelar acara warga sekitar. Kini menetap di Bandung, bekerja di sebuah toko buku. Berniat untuk mulai aktif mengiring puisi-puisi ke media massa. Salah satu puisinya :<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Kau Tahu Sihir Waria ?</span></span><br /><br /><br />jika sekali saja kau kerlingkan mata<br /><br />akan kusihir dunia menjadi semesta canda dan tawa<br /><br />pernahkah kau berpikir tentang ruh perempuan yang terjebak<br /><br />di sekujur badan lelaki, karena kesalahan malaikat pengatur jasad ?<br /><br />maka bermain-mainlah di kedalaman kelaminku<br /><br />aku akan telanjang bersama kupu-kupu<br /><br />atau jika kau mau, aku akan menjadi seekor kupu-kupu yang telanjang bersamamu<br /><br />mungkin akan kau temukan bekas-bekas air mata bahagia ibu<br /><br />ketika pertama kali aku mampu mengeja namaku<br /><br />dan ia menghadiahiku sebutir bola yang penuh warna<br /><br />kudekap perut ibu : ibu, aku tak bahagia<br /><br />aku merindukan sebuah boneka<br /><br /><br />kini kusimpan bola itu di lemari tua<br /><br />bersama tetes-tetes air mata ibu, dan seonggok tubuh perkasa yang tak pernah kuminta<br /><br />karena kelak jika ada yang mengerlingkan mata, bagai kotak pandora yang terbuka<br /><br />sihirku akan merajalela, penuh canda dan tawa<br /><br /><br />Bandung-Jakarta, Des. ’2005Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1540170994010373826.post-53480353727504769612007-10-11T07:20:00.000-07:002011-05-22T06:50:10.274-07:00Asep Pram ( Asep Sopari )<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/--ybDic7PmoA/TdkUZiGMz7I/AAAAAAAADW0/I3taGFTr2rE/s1600/asep.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 146px; height: 200px;" src="http://2.bp.blogspot.com/--ybDic7PmoA/TdkUZiGMz7I/AAAAAAAADW0/I3taGFTr2rE/s200/asep.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5609537239748759474" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Cianjur tahun 1979. Alumnus jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Belajar kepenulisan di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) dan Komunitas Sastra Bandung Utara (KSBU). Puisi-puisinya pernah dipublikasikan di media massa, dan dibukukan dalam Roh (Antologi Puisi Penyair Bali-Jawa Barat) dan Rumah di Langit (stensilan). Salah satu puisinya :<br /></div><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"><br /></span><span style="font-weight: bold;">Episentrum</span> </span><br /><br />tiba-tiba kita menjelma pejalan<br /><br />seperti kereta ringkih yang<br /><br />meringis di jembatan besi<br /><br />merasakan beban muatan yang<br /><br />dikemas di pundak bagasi.<br /><br /><br />semalaman jari-jari kaki terjaga<br /><br />menyusuri semak gelap taman-taman kota,<br /><br />mengadukan letih pada patung<br /><br />yang membatu di pinggir trotoar.<br /><br /><br />langkah kita terus melaju<br /><br />melewati deretan pohon dan tiang listrik,<br /><br />lalu mengemis ketegaran pada tiang reklame<br /><br />yang menawarkan bijih embun.<br /><br /><br />kita tak hendak menuju ke suatu tempat<br /><br />tapi sekadar menuruti naluri yang<br /><br />begitu saja hadir tanpa diundang.<br /><br />kita pun tak hendak mencari apa-apa<br /><br />selain membiarkan jiwa bergerak bebas<br /><br />di jalan-jalan lengang yang ditinggalkan tuannya.<br /><br /><br />di antara bayang tiang lampu taman<br /><br />kita menemukan wajah buram diri sendiri<br /><br />tepekur menghitung jarak yang telah dilalui.<br /><br />perjalanan ini tak pernah menjanjikan sesuatu<br /><br />selain bayang-bayang tubuh sendiri<br /><br />di saat tubuh kerabat yang lain tergolek<br /><br />di papan catur menunggu siang.<br /><br /><br />itu saja cukup, kita tinggal mengurainya<br /><br />menjadi tafsir-tafsir lain.<br /><br /><br />Oktober 2005Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0