Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Barat

Rabu, 20 Oktober 2010

Acep Zamzam Noor



Lahir di Tasikmalaya, 28 Februari 1960. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993). Mengikuti workshof seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996). Mengikuti pameran dan seminar seni rupa di Guangxi Normal University, Guilin, dan Guangxi Art Institute, Nanning, Cina (2009).

Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibukota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia). Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994.

Sejumlah puisinya termuat dalam beberapa antologi penting seperti Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987), Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994), Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Takbir Para Penyair (Festival Istiqlal, 1995), Negeri Bayang-bayang (Festival Surabaya, 1996), Dari Negeri Poci III (Tiara, 1996), Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996), Utan Kayu: Tafsir Dalam Permaianan (Kalam, 1998), Bakti Kemanusiaan (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2000), Angkatan 2000 (Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Nafas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan lain-lain.

Sejumlah puisinya juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan termuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), Aseano (Manila, 1995), In Words In Colours (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), Journal of Southeast Asia Literature Tenggara (Kuala Lumpur, 1996), diterjemahkan Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (Ohio University Press, 2001), Poetry And Sincerity (Jakarta, 2006), Asia Literary Review (Hongkong, 2006) serta The S.E.A Write Anthology of Asean Short Stories and Poems (Bangkok, 2008). Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan termuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004), diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan termuat dalam Orientierungen (Bonn, 2008), diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal dan termuat dalam Antologia de Poeticas (Jakarta, 2008). Belakangan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jepang dan Arab.

Puisi-puisi Sundanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan ke dalam bahasa Perancis oleh Ajip Rosidi dan Henri Chambert-Loir untuk Poemes Soundanais: Anthologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).

Beberapa kali mendapat Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda) untuk puisi Sunda terbaik. Kumpulan puisinya, Di Luar Kata, meraih Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2000 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sedang kumpulan puisi Jalan Menuju Rumahmu selain mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2005 dari Pusat Bahasa, juga mendapat South East Asian (SEA) Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand. Mendapat Anugerah Budaya 2006 dari Gubernur Jawa Barat. Mendapat Anugerah Kebudayaan (Medali Emas) 2007 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Kumpulan puisinya, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Namanya termuat dalam Ensiklopedi Sunda dan Apa Siapa Orang Sunda susunan Ajip Rosidi.

Tahun 1995 mengikuti Scond ASEAN Writes Conference di Manila, Filipina, mengikuti Festival Puisi Indonesia-Belanda dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Tahun 1997 mengikuti Festival Seni Ipoh II, di Ipoh, Malaysia. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Jakarta, mengikuti Kuala Lumpur Southeast Asian Writers Meet di Kuala Lumpur, Malaysia. Tahun 2002 mengikuti Festival Puisi Internasional Indonesia di Makassar. Tahun 2004 mengikuti Winternachten Poetry International Festival di Den Haag, Belanda. Tahun 2006 mengikuti Festival Puisi Internasional 2006 di Palembang, mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2006 di Bali. Tahun 2007 mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale di Magelang, menjadi mentor pada Bengkel Puisi Majlis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda. Tahun 2008 mengikuti Temu Sastrawan Indonesia di Jambi, mengikuti Jakarta International Literary Festival di Jakarta, mengikuti Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Kini Acep tinggal di kampungnya, Cipasung, lima belas kilometer sebelah barat kota Tasikmalaya. Sehari-harinya bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan sambil terus menulis dan melukis. Sekali-kali memenuhi undangan ke berbagai daerah untuk membaca puisi, diskusi, seminar, workshop, menjadi juri atau sekedar jalan-jalan. Jalan-jalan merupakan hobinya yang paling utama, di samping mengoleksi batu akik dan kain batik.


MENJADI PENYAIR LAGI

Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu
Di lantai keramik yang licin. Aku selalu terkenang kepadamu
Setiap melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi
Atau setiap kali menyaksikan penyanyi dangdut di televisi
Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Bau parfummu yang memabukkan
Tiba-tiba menyalinap lewat pintu kamar mandi
Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi
Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata
Sedang bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu
Telah menjelmakan kata-kata juga

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan
Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja
Bersama kertas, rokok dan segelas kopi. Lalu kutulis puisi
Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku
Kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu
Celana dalam, kutang serta ikat pinggangmu
Yang dulu kautinggalkan di bawah ranjang
Sebagai ucapan selamat tinggal

Tidak, Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan
Juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan
Penyair tidak menangis karena dikhianati
Juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam
Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan, pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya

O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi

1996


DUA PANTAI

Di antara dua pantai. Seperti juga alamat rindu
Tersesatlah kita dalam panjangnya sebuah ciuman
Serta rimbunnya sulur-sulur pohon kenangan:
Tenggelam dalam tahun-tahun yang bergaram
Hanyut dan megap-megap dicumbu kesementaraan

Setangga demi setangga menapaki keagungan upacara
Luput menggapai pangkal kata, menyerah pada debar dada
Kembali merayap dari banjar ke banjar, dari kandang babi
Ke kafe sunyi. Dalam mabuk kita melihat sebuah gambar
Dan nampaklah tubuh-tubuh yang bergelimpangan
Seperti patung-patung yang hangus terbakar

Tertawa karena langit kita masih biru adanya
Perahu masih melaju dalam naungan angin sakal
Dari tenggara. Kita membaca jejak pada kilau ombak
Menenggak arak serta kandungan filsafatnya
Hingga gairah mistik itu kembali membakar udara
Dan tubuh kita menjelma anak-anak panah yang menyala

Di antara dua pantai, seperti juga dermaga cinta
Terkulailah kita dalam letihnya sekian persetubuhan
Serta berlikunya jalan menuju ruang pemujaan:
Ternyata kemesraan masih mempunyai wilayah di bumi
Seperti juga kedalaman hati dengan riak-riaknya yang sopan

1996


TERINGAT LI PO

Siapakah yang melangkah
Meninggalkan jejak gerimis?
Lengkung langit
Sejak semula hanya betah jadi saksi
Yang bisu. Dan angin risik dan daun-daun

Siapakah yang melangkah
Dan bergegas melupakan jejak
Kesedihan? Aku, bayang-bayang dan bulan
Hanya berpandangan. Menunggu. Dan taman lebih bisu
Juga pohon-pohon dan bangku-bangku. Juga waktu

1983

MEDITASI

Angin itu masih duduk-duduk
Di halaman. Merenungi bunga-bunga
Musik hanya lewat
Juga waktu. Angin itu
Seperti abadi. Ketika sunyi
Ketika dingin menggetarkan daun-daun
Membakar ngungun. Gerimis pagi

1983



KETIKA


1

Ketika gempa yang begitu sopan
Menggoyang kampung kami
Kudengar semua nyanyian, semua tarian
Yang tengah digelar di halaman kelurahan
Menjadi senyap. Semua serangga, semua satwa
Semua rumputan, semua tumbuhan dan pohonan
Bahkan semua kata yang terucap, kalimat yang meluap
Amarah yang membumbung seperti asap
Mendadak bisu. Semua mengendap

2

Di kamar sempit kami yang apak dan dindingnya retak
Yang lampunya lindap karena kekurangan minyak
Di ranjang kami yang engselnya longgar dan bantalnya lusuh
Di mana segala desah dan lenguh, segala keluh dan kesah
Terasa begitu jauh. Bahkan segala sumpah dan serapah
Segala ratapan dan jeritan yang ditingkah bunyi kentongan
Terdengar hanya sayup. Kulihat malam menyeret terompahnya
Dan subuh berlabuh pada pelupuh. Kusaksikan cakrawala yang jauh
Kemah-kemah awan yang bergerak pelan dengan semburat kemerahan
Yang kemudian menyelimuti punggung lelaki bungkuk dan sakit-sakitan
Punggung lelaki yang bernama ufuk. Tiba-tiba kami rasakan kembali
Guncangan kecil itu, hentakan pendek itu serta sodokan lunak itu:
Di mana waktu kehilangan langkahnya, menit ditinggalkan detik-detiknya
Dan jam menggenang seperti comberan. Di mana ingatan berlepasan
Pikiran berloncatan dari sarangnya, perasaan menguap begitu saja
Di mana harapan dan keputusasaan tak ada bedanya, hidup dan mati
Begitu tipis jaraknya. Di mana ruang dan waktu terlempar dari porosnya
Langit dan bumi berangkulan seperti sepasang kekasih yang lama
Tidak berjumpa. Di mana sunyi bertahta di atas singgasana

3

Ketika gelombang pasang yang tak ramah
Menyapu daun-daun kelapa dan atap-atap rumah
Ketika angin puting beliung menerjang sawah dan kebun
Merobohkan surau dan madrasah, menggusur sekolah dasar
Dan puskesmas yang terlantar. Kulihat ikan-ikan berterbangan
Ayam-ayam berlarian, sapi dan kambing mati di kandang sendiri
Hansip-hansip menerobos reruntuhan dengan senter dan patromak
Mencari mayat-mayat. Keesokan harinya tentara dan polisi datang
Menggali lubang besar untuk mengubur mereka bersama-sama
Sebelum membusuk. Lalu gempa sialan itu mengguncang kami lagi
Lalu air bah kurang ajar itu menerjang kami lagi. Semuanya lewat
Juga silsilah panjang kami yang tercerabut dari akarnya yang dalam
Semuanya berlalu, juga sejarah yang terpaksa kami biarkan pergi
Entah ke mana. Dan semuanya harus kami relakan untuk tidak kembali
Semuanya, semuanya. Juga keberadaan atau ketiadaan kami ini

4

Aku tidak mengenal musim dan cuaca, lupa tanggal dan nama hari
Hanya tahu bahwa masih ada siang dan malam, ada gelap dan terang
Susah dan senang. Sudah lama aku tak peduli pada baik atau buruk
Pada salah atau benar, hina atau terhormat. Kerjaku hanya main domino
Bertandang dari tenda ke tenda, dari barak ke barak, dari posko ke posko
Hingga kutemukan kembali istriku yang kurus di sela tumpukan kardus
Lalu kami bercinta sambil menunggu giliran masuk kakus, kami bercinta
Sambil mengantri pembagian nasi bungkus, kami bercinta sambil pawai
Merayakan hari kemerdekaan atau sambil berdesakan melihat kampanye
Di kecamatan. Atau sambil menunggu giliran mencoblos di bilik suara
Ah, di tengah semburan lumpur panas kami masih disuruh memilih lurah
Bupati, gubernur dan presiden. Kami disuruh memilih salah seorang
Dari mereka yang suka membagikan kaos, poster, spanduk atau sembako
Salah seorang dari mereka yang wajahnya terpampang di mana-mana
Namun tidak kami kenal dan suara mereka tidak pernah terdengar:
Biar gampang kami pilih saja yang kumisnya paling tebal

5

Di bantaran sungai yang landai, di atas tumpukan sampah yang bau
Gubuk masa depan kami terangkat ke udara, melayang-layang sebentar
Lalu rubuh dan hanyut. Banjir selalu datang setiap tahun, kebakaran
Terjadi setiap bulan, sakit perut berkunjung saban minggu, kelaparan
Dan kemarahan menjadi teman sehari-hari. Sekian lama kami terlunta
Sekian lama mengembara dari kolong jembatan ke bekas gerbong kereta
Namun selalu saja punya alasan untuk tertawa atau menertawakan
Setiap keadaan. Kemarin ada tetangga jatuh dari atap bangunan
Tersangkut di kawat listrik tegangan tinggi. Kemarinnya lagi ada mayat
Mengambang di sumur. Tadi malam anak sulung kami ditangkap polisi
Yang nomer tiga kena flu burung. Lalu dari toko elektronik sayup terdengar
Seorang presiden yang suaranya merdu tengah menyanyi di televisi
Mungkin tentang pelangi yang menghilang dari mata kami

2007.



SAJAK SEORANG PENGUNGSI

/Buat Frans Nadjira


Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun
Di jantungku gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan
Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku
Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat
Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Sepanjang hari
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini
Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan belati terhunus
Kemudian melempari gambar pemimpinnya yang nampang
Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah tiang bendera

Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun
Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan
Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku
Menjadi bajingan. Kembali aku mengembara dalam kesamaran
Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak
Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:
Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh
Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi

Tidak ada komentar: