Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Barat

Kamis, 04 Agustus 2011

Anggie Sri Wilujeng


Lahir di Tasikmalaya 7 Nopember 1967. Karya-karya puisi tergabung dalam Antologi Puisi “Nafas Gunung” (1997 Biduk Bandung ), Antologi Cerpen Sunda “Ti Pulpen Tepi Ka Pajaratan Cinta” (2002 Kiblat Bandung ), Antologi Puisi “Enam Penyair Menghisap Knalpot” (2002 Sanggar Sastra Tasik), Antologi Puisi Sunda “Langari” (2002 Panglawungan Pangarang Kiwari), Antologi Puisi “Ciamis Dalam 364 Sajak” (2006 Kelompok Belajar Mengarang Sastra Galuh), Antologi Puisi “Tanah Pilih” (2008 Puisi Temu Sastrawan Indonesia 1, Jambi), Antologi Puisi Tunggal “Secarik Luka” (2008 Wahana Iptek Bandung)
Disamping menulis juga aktor dan sutradara Teater. Aktris terbaik pada Festival Drama se Jawa Barat 1996 di Bandung. Sutradara garapan kolosal 17 komunitas teater di Tasikmalaya kerjasama dengan Teater Tetas Jakarta (Ruwat Bumi-Anggie Sri Wilujeng) 2002. Pesta Monolog Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marjuki Jakarta – Naskah, aktor dan sutradara dalam judul “Dewi Kunti” 2006.
Mengikuti workshop Puppet Project Yayasan Kelola kerjasama Australian dan American Fondations di Padepokan Bagong Kusudiardjo Yogyakarta 2006 Diundang dalam Temu Sastrawan Indonesia 1 Jambi, 2008 Mengikuti berbagai Kongres Bahasa, Muktamar dan Holaqoh Budaya.


DUNIA KITA SEDERHANA

Bersamamu menatap dunia, memandang esok pada impian
yang lahir ketika terjaga, menikam masa lalu berdebu yang kerap
mengangkangi langkah, demikian panjang obrolan kita,
sepanjang gelak tawa dan isak tangis, kemabukan dan gairah
yang melayang diterpa angin, aroma keringat dan airmata,
rindu dan cemburu adalah batu dan kerikil menakjubkan
yang berloncatan dari batin kita.

Dunia kita ternyata sederhana, senyuman di pagi hari
telah mampu membunuh kemiskinan, memanjangkan keindahan hari
dan membuat senja berpelangi. Senyuman melahirkan kemerdekaan.
Mengalirkan airmata menjadi sungai, menanam lapar dan dahaga
menjadi sawah, perih dan sakit menjadi bukit, gundah dan gelisah
menjadi nyanyian yang mesra.

Bersamamu menatap dunia, mengemas kenangan dan khayalan,
memasuki hari-hari berkabut, waktu-waktu berdebu, bermacam musim
dan cuaca, mencuri keinginan tuhan sekaligus menggadaikannya.

Kita tetap bergandengan, memerdekakan senyuman dan tangisan ,
meminang pagi mengencani malam tanpa maskawin tanpa perjanjian,
saling menghamili dunia dengan indah.


TUNGGULAH AKU

Tunggulah aku, pada bara batu-batu, liukan pohon diterpa angin,
tangisan hujan yang membasahi rumputan, semua itu membuat perjumpaan
menjadi berkilau, airmata menjadi kembang api pada dunia yang seringkali
merintih. Aku tetap berdiri ketika mataku suram menyaksikan bulan lindap,
malam mengutuk bayi-bayi menjadi amarah yang akan terus hidup di setiap kepala.

Tunggulah aku, diamlah bersama embun pagi yang belum terjangkau
matahari, diamlah dalam kesejukan dimana waktu tak mengenal siang tak
mengenal malam, tak mengenal tua tak mengenal muda, semuanya
bersamaan, seperti perjumpaan kita.

Tunggulah aku, di ujung keinginan yang menyalakan senja, membebaskan cahayanya dari himpitan batu-batu. Biarkan musim terus berganti, tetapi pelangi adalah warna rahasia kehidupan yang harus kita masuki.



MUSIM KEMARAU DI NEGERIKU

Coba dengarkan desau angin yang risau, ketika awan terpenjara di langit,
tak mampu menurunkan hujan. Burung-burung kehilangan sarang,
karena pohonan meradang. Gunung merenung, hari-hari terkubur debu
yang menyesakkan. Sementara sawah-sawah seolah pasrah
pada wajah petani yang resah.

Coba lihat ikan-ikan menggelepar memburu sungai yang meradang,
kehilangan lubuk kehilangan ceruk. Batu-batu hanya bergulingan,
saling berbenturan, membilang warna pelangi yang juga tak kunjung datang.
Lalu siapakah yang membakar hutan, membakar ladang, membangun
longsor, membangun gempa, meledakkan tanggul-tanggul, meledakkan
kota-kota, meledakkan harapan-harapan?

Sementara anak-anak kita hanya berlarian ke mall, diskotik, rumah bordil,
ramai-ramai menyuntikkan darah dan nanah pada tubuhnya, menghisap
serbuk duka dan butiran airmata pada bong-bong berkarat, melinting
dan membakar masa depan.

Dan ayah kita sibuk menumpuk peti uang di kepalanya, menggadaikan diri
dalam lekukan paha perempuan, menukar tanah dan sungai dengan
pabrik-pabrik beracun, menawarkan buku-buku sejarah palsu, dongeng
pengantar tidur manusia tolol, menjual keringat anak-anaknya sendiri
yang disajikan dalam setiap perjamuan.


SEMUA MENUJU BUMI

Daun-daun berguguran, kata-kata berhamburan,
batu-batu beterbangan. Hari-hari membeku ketika akar-akar
pohonan menjalar mencengkeram kepala, melilit angan,
membutakan bumi.

Kegelapan membuat catatan bersama angin,
mengirim deru hujan, gelombang lautan.

Kalaulah yang bersembunyi merajai kepala mau berjudi denganku,
akan kuberikan seluruh siang dan malamku untuk memunguti kembali
tebaran dedaunan yang berserakan di bumi.hingga hari-hari mengalir,
menelusuri kembali garis-garis kehidupan


SAJAK RINDU 1

Aku telah mabuk dalam hasrat yang berontak
Gelisah dan rindu menjadi arak dikerongkonganku
Teriakan dalam dadaku menjadi doa kesetiaan
Pada matahari yang menebarkan segala warna cahaya
Pada langit yang membentangkan segala gairah dan senyuman

Aku keluar dari dalam diriku
Menghantam hasrat membatu dalam batok kepala
Tapi suaraku menggenang dalam kesunyian
Sementara deru angin mengerat malam
Dan semua peristiwa menjadi gemuruh hujan
Yang kuminum dalam setiap percakapan

Gelisahku memanjang seperti jalanan lengang
Tak henti aku memanggil-manggilmu
Ketika malam menjaring bintang-bintang
Dan angin menerbangkannya padamu
Waktu begitu rahasia mengitari bumi
Menyusup hari-hari dari segala musim bertemu


SAJAK RINDU 2

Deru angin menasbihkan sunyi dalam tapakur rumputan
Bayang-bayang bulan menjaring senandung langit
Menyempurnakan khusyuk kerinduan
Namamu bersayap mengitari relung malam mengurai sinar bulan
Pada kabut dan dedaunan yang rebah

Kita saling menyapa dalam jarak
Menerawang wajah pada ribuan kata dan bentangan sunyi
Tawa dan airmata menjadi kerinduan
Tak henti mengukir batu-batu dan menguntai bunga

Kaukah yang berdiri di ufuk dengan dada berpelangi?
Berkirim kobaran angin pada helaian rambut
Yang terus tumbuh menghutan di kepalaku
Berkirim senandung hujan
Yang terus berjatuhan dan menyungai kata-kata dalam puisi

Kerinduan mengkhusyuk pada setiap celah waktu
Pada setiap musim dimatamu yang menyibakkan tabir
Pada beragam kisah yang mengalir
Sepanjang matahari dan bulan mengembun
Sementara tabir langit membiru dingin
Membentang dikeluasan malam
Kesunyian lindap
Bulan berumah dalam benak meski malam teramat gulita


DIANTARA MUSIM

Musim menabur kata, menggugurkan daun, Menciptakan
gairah, mencatat kenangan, menyimpan angan.Hari-hari tumbuh
diantara perbincangan dan perjudian waktu

Dunia menerjemahkan wajahnya dalam bayang-bayang matahari
Berjalan menyusuri siang dan malam. Bersama butiran embun
mencatat syair pada helai rumputan. Batu-batu menjelma puisi,
kata-kata meruang di cakrawala

Lingkaran matahari berderak mengitari bumi
Memunguti lembaran sejarah, bergulir di batas angan
Diantara impian dan kemerdekaan
Musim mengalir dan terus bergerak


PADA WAJAH KOTAKU YANG KURINDU

Lelehan keringat pada wajahmu yang lebam, membentuk butiran waktu
yang mengental di hatiku. Gigimu yang kelabu memperlihatkan masa muda
tumbuh dari jaman yang gelisah. Waktu mengikuti angin menentukan
langkah kaki, kau berdiri telanjang dada menantang matahari, lalu kau
berlari mengitari hari, memaksa siang turun ke jalan.

Dari bibirmu yang kecubung, kedukaan panjang mengucur, duka ilalang
di tanah gersang. Kau menunggang angin, menembus waktu menembus
ruang, mengejar kembali masa muda yang meninggalkanmu. Memunguti
serpihan kenangan yang tercecer, mengemasnya lalu kau bakar dalam airmata. Apakah kau telah menyelesaikan kepiluanmu?

Pada wajahmu yang lebam, gigimu yang kelabu dan bibirmu yang kecubung,
kulihat wajah kotaku yang kurindu, dengan barisan gigimu berunjuk rasa
menentang para pecundang, kulihat juga wajah petani berselubung cemas, pemberontakan telah merusak sawah dan ladang, merusak hutan dan gunung, merusak harapan dan impian.


SATU-SATUNYA JALAN ADALAH MERDEKA

Di negeriku tercinta, di tanah subur dan alam permai.
Kudengar ratapan burung-burung kehilangan sarangnya,
kudengar jeritan petani-petani kehilangan sawahnya,
kudengar tangisan anak-anak gembala kehilangan kerbaunya,
kudengar rintihan sungai-sungai kehilangan airnya,
kudengar teriakan hutan-hutan kehilangan pohonnya.

Di negeriku tercinta, negeri adil makmur dan sentausa.
Kulihat kemiskinan telah menggiring seseorang memasuki penjara,
tetapi kutahu tak ada kesakitan yang lebih nyeri dari kemiskinan yang panjang. Kemarau yang meradang di jiwa-jiwa gersang.
Kurasakan kengerian, ketika setiap orang menghakimi kemiskinan,
bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah kesabaran.
Bukan. “Satu-satunya jalan adalah merdeka”,
seru burung-burung.

Suara-suara mereka mengendap di telinga,
tumbuh mengakar ke kepala.
Lalu mereka beramai-ramai menampung airmata,
mereguknya lalu menyemburkannya ke udara, membakar kemiskinan, memberondongnya dengan senjata, meledakkan hati,
sumpah serapah yang paling kejam, ternyata tak menyelesaikan.

Satu-satunya jalan adalah merdeka.


SAJAK SUNYI

Kusembunyikan segala duka, dosa yang mengangkangi setiap
langkah kaki, gelisah yang senantiasa merasuki pemukiman nurani,
tak ada senyum bagi rasa sinis, tak ada tangis bagi senja yang terus
menggerimis, dedaunan hanya menadah aroma sajak basah pada reranting,
ketika semua dinding dan pembaringan melumut, ketika angin berputar pada
helaian rambut dan menjelma sunyi di kedalamanku.

Kusembunyikan segala duka, ketika pintu-pintu terkunci, matahari hanya
mengintip di celah tingkap. Ruang gelap mengikatku, kesunyian menyerbu
darahku, merajah belulangku, menyelesaikan segala kegilaannya di kepalaku.
Dan akupun menggila, menangis sekaligus tertawa, melengkapkan deru
yang menghumus dalam dada dan melumat kesadaranku.

Jumat, 27 Mei 2011

Restu Ashari Putra


Lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Bergiat di Komunitas Rumput dan Majelis Sastra Bandung (MSB). Kini tengah merampungkan studinya di Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung sambil terus mengasah menulis puisi dan prosa. Puisinya singgah di antologi “Empat Amanat Hujan” (DKJ, 2010) dan cerpennya dalam antologi “Bersama Gerimis” (MSB, 2011).
Alamat : Jl. Merkuri Utara VIII No.1 Margahayu Raya, Bandung
Email : restu_freedom@yahoo.com
Telepon : 085781660989

KERENCENG, 1
-pasukan rumput

semestinya kami beterbangan
di kaki bukit kami menyiapkan perbekalan
namun tak ada yang lebih kekal ketimbang kenangan
kami membentak-bentak malam. menyingkirkan dahan. di mata kami hanya ada puncak
dan kami tahu cuaca yang agak pucat adalah sebagian yang
kami sebut perjalanan. semak-semak melilit kaki. pacet bergelayutan di kaki kami.
lalu kami bagai ular berduyun-duyun mengendap ke bawah rimbun rasamala.
berjumpalitan. menahan beban yang patah di punggung kami. dan selebihnya
hanya tangkai ilalang yang basah.
kami tak paham dengan perjalanan jauh dan panjang
yang kami mengerti bagaimana kami mengisahkan perjalanan ini
di bawah kabut, di tengah tanah yang kadangkala
bisa membuat mata kami gerimis saat mengingatnya lagi nanti.
O, bukit bukit yang menjadi harapan kami, semestinya kami beterbangan.
pergi. dan tak lagi melihat kenangan.

mei 2011

KERENCENG, 2
--haryanah

sebelumnya aku tak mungkin
menulis perasaan yang paling dingin
dengan tangan ditembus hujan.
daun-daun pun tak bisa kujadikan kertas.
namun malam itu, dengan hati paling gerimis
tiba-tiba tubuhku menyala, bulan yang tadinya
pucat tiba-tiba purnama. dahan rasamala yang
merimbun di sepanjang lereng kemudian
rubuh. aku bagai hendak melumat bibirmu
dan mengekalkannya di lereng ini.
O sayang, api rinduku biarlah berkobar di sepanjang hujan!
dan hujan yang sedari tadi turun bagai serdadu itu
biarlah mengental. aku menyaksikan air coklat tua luruh
menyusur tanah bagai bah. air apakah ini. aku ciduk air-air yang luruh itu
dengan tangkai puspa, lalu tetap saja aku tak bisa menulis rindu.
tak ada lagi yang membekas padaku
kecuali wajahmu yang menyala di puncak ingatanku.

mei 2011

di negeri ini, negeri puisi

hidup begitu panjang
di negeri ini, negeri puisi

setiap anak bebas bertanya
dan mencari jawab sendiri sendiri
tanpa harus takut
seorang ayah atau ibu mengurungnya
di kamar mandi
dan hidup begitu panjang
di negeri ini, negeri puisi
kita bisa mengucap cinta
pada siapa saja. bisa menyayangi
apa saja. membiarkan hidup kita terberai
dan hanyut oleh senyum tawa
seorang kekasih
atau perempuan yang sengaja
tak kita cintai. lalu kita mabuk
dan hidup makin panjang
usia kita memanjang
dari cerita cerita
seputar kegelisahan. tentang sakit
dan nyeri
di negeri ini, negeri puisi
kau dan aku
sepertinya sedang sama berjalan
bagai kurcaci di pantai sepi
kaki kita memanjang
tak berbatas
tak bertepi
lalu kita seperti anak kecil
yang saling bertanya, saling menyanggah,
dan mencari jawab
tanpa harus takut
siapa pun akan mengurung kita
di negeri ini
negeri puisi

januari 2011


sehabis dari manggarai

mulai malam ini
aku belajar menulis surat
undangan kematian
dan mengirimnya pada rumah,
gubuk-gubuk pinggir jalan,
pada lelaki renta
dan tongkatnya yang tua
mungkin nasib semacam angin malam
yang riuh dan berisik mengepakkan sayapnya
menabrak kaleng,
mengetuk tiang-tiang,
kemudian mengganggu tidur
para sopir di terminal
jarum jam bagai kopi hitam
yang selalu membuat mata
tegang dan terjaga
sementara aku
kembali lagi belajar
mengirim undangan
khusus kepada ibu
yang sedang merebus batu
yang tertawa senyum-senyum
dengan bahagia
memerhatikan anak semata wayangnya
melilitkan tali di lehernya
lalu dengan penuh damai
mereka merayakan
makan malam bersama
tanpa lagu-lagu, tanpa nyanyian
dikelilingi anjing-anjing liar
yang lapar. matanya bengis.
mungkin nasib semacam angin malam
yang menendang kardus-kardus
menerbangkan koran-koran
mengapungkan harapan
2011


seperti dendang ujang

ujang, ayo dendangkan lagi
nasib masa depanmu! seru angin
dan riuh lautan kota.

lalu sampai ke mana kau akan mengejar matahari
sedang emakmu rikuh menunggu masakan hari ini
mirip senar gitar yang kaupetik keras sekali sampai merintih
emakmu perih melangkahi tanah kering penuh matahari
menanti ujang kapan datang. emak ingin memasak nyanyian
kesukaan ujang. sebab emak senang ujang telah bisa menciptakan
hari hari sendiri tanpa bantuan angin pagi

setelah lagumu garing ditelan angan-angan
kau diami malam sunyi serupa kamar idaman
yang kautata di pinggir kota laksana rumah baru
padahal kalau kau suka kau masih bisa berbaring
di lobi gedung itu meski ranjang dalam kamar
mengharamkan tubuhmu untuk sekadar terkapar
hanya karena lebih baik kau terbakar atau mati kedinginan

baiklah ujang, lebih baik emakmu tak perlu tahu
bahwa malam ini kau mengumpulkan banyak nyanyian
untuk emak masak bulan depan

tak perlu tahu pula kalau kau lelap semalaman
di depan loket kantor bis malam

2009


tentang sajak muram yang hilang di hilir sungai

dan ricik air mengantarkan ceritanya padaku
sebuah sajak muram yang hilang di hilir sungai di seberang pulau
di sore yang mendung sebelum gerimis hujan
walau bagaimana pun, walau langit murung, aku harus membacakannya
untukmu, sajak-sajak itu:

/beberapa larik untuk kau yang mendung di sore hari

wajahku dibelai belai angin
dan rambutku bergoyang sendiri
tapi tanganku tetap kaku menuliskan airmata
untuk kuhadiahkan
kepadamu
padahal waktu sebentar lagi padam
dan cahaya senja segera tenggelam
haruskah aku
membongkar airmataku sendiri
untuk kuhadiahkan
padamu
agar kau bisa percaya
bahwa aku telah tiada dari tempatmu berdiri
seperti kau melihat maut
menikamku
puluhantahunlalu

sementara langit terus mengirim gerimis
dan angin semakin mengumbar badai
---dari ujung jalan itu tubuhku koyak
kemudian rubuh!

/puisi yang lahir dari airmatamu
--culaiha

dari tanganku tak saja lahir puisi
tapi juga airmata dan beberapa luka
karena dari depok ke kalibata
aku meninggalkan engkau
dengan tubuh derita
--lampu lampu padam
cahaya bulan pudar
dengan kesendirian dan tubuh gemetar
aku terlunta menyusuri sudut malam
pintu pintu stasiun
dari gerbong ke gerbong
puisiku lahir, airmataku lahir
kertas kertas beterbangan
mereka berjalan-jalan sendiri mencarimu
menemuimu di tengah kota, tengah terluka
sedang menatap bulan
dengan mata gerimis
dan hujan
sementara dari tanganku,
lahirlah engkau
memanggil manggil namaku
berulang-ulang, bersahutan
dengan suara senyap ditelan udara malam
kemudian hilang

/sajak yang akhirnya hanyut di alir sungai

aku hanya menjadi bayang bayang
puing puing tubuhmu yang hancur digilas malam
berantakan
ingin rasanya membentangkan tangan
kemudian memeluk angin
mencium bau rumputan
menghirup harum gunung
memandang pohon pohon
yang gemetar digoyang semilir

ingin rasanya memburai burai tangis
ke dalam lautan yang mengalir dari hilir hilir
sungai
sampai aku benar benar bisa melihat wajahmu
dari warna pelangi yang benderang
dari genangan air yang mengucur ke lembah lembah
airmatamu
lalu tersenyum padaku

ingin rasanya aku berputar putar membentuk telaga
menjadikannya muara setiap kesedihanmu
menjadikannya gerak daun daun dan ranting di bukit jauh itu
menjadi milikmu
hingga jikalau daun daun dan ranting pohon itu jatuh
ke arus sungai yang mengalir dari hilir hilir bukitmu
maka aku akan terbawa hanyut ke dalam alir sungai kesedihanmu
yang pedih dan dalam.

2010

Minggu, 22 Mei 2011

Diah Hadaning


Kelahiran Jepara-Pantura, Mei 1940. Serius menulis sejak 1970-an sampai sekarang. Karyanya telah banyak diterbitkan (buku kumpulan puisi), tampil solo, duet, dan antologi bersama. DIHA juga menulis dalam bahasa daerah (Jawa ) berupa gurit (puisi), cerkak (cerpen) dan naskah lakon tradisional. Kegiatannya sekarang, baca puisi di berbagai acara, penjurian, apresiasi dan mengelola WARUNG SASTRA DIHA, sebuah komunitas dialog jarak jauh, melayani berbagai ‘urusan hidup ‘ khususnya sastra. Salah satu puisinya :


Elegi Tanah Merdeka
( Kepada yang Lupa Akan Sumpahnya )

ketika langit penuh jelaga
halangi kedip bintang langit barat
jiwa tualangmu jadi badik dan celurit
menyambar nasib orang-orang
yang tiba-tiba mati langkah
di lorong-lorong kemerdekaan
kau ingat ?
sumpah setia berbilang musim ?
tanah air, nyawa yang dipertaruhkan
anak negeri, darah daging kehidupan
yang menuntut cinta dan kejujuran
sementara era bicara lain
orang besar segalanya serba besar
sampai tertutup nurani peduli
lupa semua hanya titipan
Sang Pemberi Kehidupan
tanpa doa pertobatan
hilang makna harta dunia
sementara orang kecil segalanya serba kecil
masa depan tak lebih gigil
hari-hari perjalanan melelahkan
terjebak antara memburu dan diburu
di padang perburuan tanah merdeka
siapa menangisi negeri melati hilang wangi ?


Cimanggis, 2003 – 2004


Maha Hamparan
di sehampar bentangan semesta serba maha
ada undakan kesetiaan para petani
semua menanam bijihbijih pengharapan

di semilir angin pada angkasa serba raya
tercipta kedamaian buih angan masa datang
tentang pemanjat pohon kelapa
penugalpenugal tanah kasar yang landai

apa yang diinginkan awan
ketika mendung mengantarkan halimun
pekat aroma asap
hutanhutan terbakar
gemunung mati ditinggal zaman bergerak

deras sungai masih dapat kurasakan
ketika air membawa kail pemancing
hanyut bersama batubatu

mereka masih menyisir jejak lokomotif
rel tua berabadabad
karat melamurkan kenangan

di sana,
gegap gempita terdengar
pekikpekik kemerdekaan
lindap pegunungan mengakar masa

SudutBumi, 2005


Kidung dari Rumah Panggung

dibangun dari kayu hitam hutan sisa
peradaban, teritisan batu granit
mampu sembunyikan bermusim rasa sakit
pagi serap bias matahari sisa gerhana
malam serap embun dan hujan asam
sesiapa di dalam
masih harap lusa ada perubahan

sementara anak-anak telah pandai
naik turun di tangga rumah panggung
menebar tawa di udara
menyapa matahari ?
memanggil angin ?
atau mendengar kidung aneh
yang setia mengusap-usap atap

setiap ganti musim
makin terdengar aneh
tulang dan kidung makin melengkung

Cimanggis, 2005

Minggu, 01 Mei 2011

Ardy Kresna Crenata



Lahir di Cianjur, bermukim di Bogor, kuliah di Institut Pertanian Bogor dengan studi Matematika Menyenangi sastra sejak di sekolah menengah terutama puisi.
Alamat Rumah Pak Udin RT 03/06, Kp. Babakan Dongeng, Darmaga, Bogor 16680
HP 085693841985 Alamat E-mail crenata011@yahoo.com


Cahaya, Sebuah Kota

mungkin sudah terlalu jauh aku tersesat di kotamu
hingga tak lagi bisa mengingat, dari arah mana aku datang
dan ke arah mana seharusnya aku pergi. sementara kendaraan
di jalan-jalan, senantiasa memberikan cahaya
bahkan bagi siapa-siapa yang tak lagi mempedulikannya.
aku pun masih senantiasa memberimu cahaya.

aku tak tahu, sampai kapan aku bisa menjadi asing
di tengah-tengah peristiwa yang selalu mengingatkanku padamu.
sampai saat ini, aku hanya bisa meyakini satu hal yang mungkin kekal,
bahwa aku ingin lebih lama bertahan di kotamu,
meski itu berarti tersesat, dan engkau mungkin belum akan
memahami apa yang sesungguhnya di sana kucari.
tak apa. kukira masih akan ada banyak kisah untuk dimaknai,
dan jika pun kelak aku harus menyerah, tentunya hanya kepada apa
yang sungguh-sungguh aku percayai. aku tak ingin cita-cita
begitu saja lenyap, sedangkan untuk membuatnya ada
aku terpaksa mengorbankan banyak kenangan
dan menjadikannya usang. meski matamu belum bisa
menemukan tanda-tanda di mataku, aku akan bertahan.

untuk sebuah janji yang tak pernah ingin kuingkari,
barangkali aku akan mengenang setiap peristiwa yang kutemui,
melekatkannya dalam puisi, lalu memberikannya padamu.
tapi seindah apapun sebuah puisi, hanya akan engkau maknai
di saat engkau sendiri, dan aku hanya akan menjadi bayang-bayang
bagi tubuhmu yang tak setiap saat merindukan cahaya.

aku tak ingin seperti itu. sebab aku memahami cinta
sebagai sesuatu yang nyata. dan jika kita hanya
terus berpura-pura, kita mungkin hanya akan menjadi rahasia
dari peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya tak pernah ada.
jika kesetiaan bisa tumbuh dari banyak pengorbanan,
kuharap kebersamaan kita kelak adalah sebuah tujuan.

maka biarkanlah aku senantiasa memberimu cahaya,
meski mungkin tak setiap saat engkau berada dalam gulita.
aku akan setia menjadi malam bagi sepasang matamu yang lelah,
bagi sebuah kota di hatimu yang merindukan kisah-kisah.

Bogor.April.2011


Malam Bagi Sebuah Kota
: NN

matamu adalah malam bagi sebuah kota
di mataku, tempat lampu-lampu
redup menyala, menyambut siapa saja
yang merasa keyakinannya goyah.
di sana, jalan-jalan hanya sesekali lengang,
hujan seperti enggan berhenti,
dan percakapan banyak tertinggal
di setiap keberangkatan
yang tiba-tiba. persis, seperti itu lah
mataku menerjemahkan matamu:
sebuah keberangkatan yang tiba-tiba.

matamu adalah malam bagi peron-peron
di mataku, yang kehilangan getaran
di setiap keberangkatan yang tiba-tiba.
di sana, aku terjebak antara tetap tinggal
atau menyusul mereka yang
telah pergi. sementara jarak tak
pernah lagi menunggu. waktu
melangkah semakin cepat. dan sebuah
jawaban dari apa yang tak pernah
kutanyakan, datang begitu saja,
mengenalkan dirinya sebagai kematian.

aku lalu menyadari, tak mungkin
menghapus kejadian yang pernah ada
tanpa mengalami kembali
kejadian itu. sedangkan bau dari
kenangan yang membusuk
hanya akan menjadi saksi atas hancurnya
sebuah keyakinan yang mati-matian
kupertahankan. lalu tak lama,
sebuah kota akan patuh
pada kesia-siaan. kehidupan akan
kembali jadi sekeping uang
yang menolak dibelanjakan.
perjalanan terhenti. kematian
bermalam di tempat-tempat yang
ditinggalkan. dan percakapan
tak lagi terdengar. dan
hujan terasa asing.

matamu, adalah malam bagi sejumlah
kenangan yang seharusnya kulupakan.
dan sebuah janji yang dulu ada,
akan selalu ada, meski tak mungkin
kini untuk kita memenuhinya.

Bogor.Maret.2011


Api dan Kayu

benci dan cinta diciptakan
dari api yang sama. dan kita adalah
kayu-kayu yang terbakar
dan kelak menjadi abu.

April.2011

Rabu, 16 Februari 2011

ASRIZAL NUR



Di puisi bermula sebagai Deklamator, Juara Provinsi Riau ( 1990), Juara se Sumatra (1993) Juara Nasional Piala HB Jassin (1996).
Tahun 2009 ia mementaskan puisi-puisinya dengan Spektakuler dan kolosal, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Mazuki Jakarta, Kolaborasi pembacaan puisi dengan multimedia : Tari, Teater, Musik, audiovisual, dengan nama Konser puisi Multimedia Asrisal Nur.
Menara, pertunjukan puisinya perdana di Teater Arena Pekanbaru (1990), Kuda, di Teater Arena Pekanbaru (1992), Menjalin Waktu, di Taman Budaya Riau (1993), 24 April 2005 menggelar pertunjukan puisinya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 26 September 2005 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta dipenuhi sesak penonton, Pembacaan Sajak Melayu Asia Tenggara di Kepri (2006), Baca Sajak Jalan Bersama di TIM (2006), Baca Sajak Panggung Apresiasi Sutardji Calzcoum Bachri di TIM ( 2007), Baca Sajak Panggung Apresiasi Temu Sastrwan se Indonesia di Jambi (2008), Baca Sajak 100 Tahun kebangkitan Nasional di Wapres.Bulungan Jakarta (2008), Baca Sajak Internasional di Jakarta (2008) Membaca Puisi Poritugal, Indonesia, Malaysia di Universitas Indonesia (2009). Baca puisi Radio Televisi Brunei Darussalam(2010) .
Puisinya pernah dimuat diberbagai media nasional dan Daerah. 2bukunya telah terbit : Dalam Kotak Debu (kumpulan puisi untuk buruh, 1998), Perlawanan Orang Kotak Debu (Kumpulan puisi, 2005) dan Percakapan Pohon dan Penebang (YPM, 2009) dan termuat dalam beberapa antologi puisi antara lain : Kumpulan Sastra Sagang (1996), Kolaborasi Nusantara (Antologi puisi bersama, 2006), Antologi Puisi Nusantara (2006), Rampai Melayu Asia Tenggara (2006), 100 tahun Kebangkitan Nasional ( 2008), Gong Bolong (2008), Kumpulan puisi Portugal, Malaysia dan Indonesia (2008)
Disamping menulis dan membaca puisi, kini mengorganiser budaya di Yayasan Panggung Melayu.Kegiatan budaya yang paling fenomema melaksanakan Pekan Presiden Penyair Internasional 2007, Festival Penyanyi Zapin se Indonesia 2008, Festival Pantun se Asia Tenggara (2008), menciptakan naskah dan menyutradarai Opera Pantun di Taman Ismail Marzuk i(2008). Konser Puisi Multimedia Asrizal Nur (TIM. 2009)
Atas dedikasinya terhadap budaya Melayu mendapat Anugerah Sagang pada kategori Seniman serantau.

Puisi-puisinya :

PUISI

Siapa
tak :
lihat
dengar
baca

akulah : mata, telinga, suara, tanda

sebab :
parau angin
kau tak sampai resahnya
rintih cicit burung
kau tak tangkap lukanya
marah alam
kau tak jera amuknya

maka:
lihat,
dengar
bacalah!

temukan raib hati
kau


Sei Ladi, Tanjungpinang 21Oktober 2009


MAJELIS ZIKIR DEDAUNAN

Pada mulanya
rimba raya sajadah doa
majelis zikir dedaunan

daun rayu ranting berzikir
ranting berzikir
ranting bujuk dahan berzikir
dahan berzikir
dahan panggil pohon berzikir
pohon berzikir
pohon bawa rimba berzikir
rimba berzikir
pohon ajak penebang berzikir
penebang mungkir
tebas
bakar
libas

majelis zikir daunan
jadi padang api
ranggas
kering doa

munazat rimba ditebas penebang
enggan tanam
tak tumbuhkan doa
alam murka
tak kuasa tolak bala nestapa

ketika bencana tiba, ranting kering berkata:
“maaf! kami tak lagi mampu merayu Tuhan
lantaran doa kami terbakar bersama abu daunan”

Bogor, September 2009


PINTU

Di pintu
ada sepatu
tapaknya berdarah
bernanah

tak ada penjaga ramah
cuma pemintaminta
tak ada penawar bunga
hanya penjaja duka

pintu
tak lagi mudah diketuk
bila diketuk
dia mengetuk
bila ditanya
dia bertanya
bila diharap
dia mengharap
bila kau sedih
kau yang diperih
bila kau masuk
kau diluar

kemana pintu
tempat masuk itu?
tinggal jejak
berdarah
bernanah

Depok, September 2009


MATAHARI HATI

Ketika zaman musim kelam
orang –orang bungkus hati
dengan selimut buram

pada musim ini
jalan bersimpang kelam
selalu jebak tapak sama

musim gelap
uji besar cahaya hati
bila redup, gelap tipu pandang

selamatkan hati
nyalakan jadi matahari
tuntun ragam musim

matahari hati pembeda
mana terang
mana kelam

Jakarta, Agustus 2005


BELAJAR DENGAN BAHASA DAUN

Mengapa menara yang kita dirikan
bila kaki terhimpit pilarnya
kenapa bukan bangun kincir
sehingga riak telaga jadi samudra

kita terlanjur suka gemerlap neon ria
sedang kabelnya dibiarkan konslet di gudang jiwa
kota kota adalah gugusan bintang
kita ciptakan dari hati yang kelam

belajarlah dengan bahasa daun
saat hening
bersahabat dengan :
angin, kerikil telaga
burungpun bernyanyi
embun senggayut di rerantingan

belajarlah dengan bahasa daun
bila gugur
tercipta kehidupan baru

Pekanbaru, 1996


DIBUNUH MALAM

Dikejar rajawali waktu
tunggang kuda pagi
pacu perburuan binatang kegelapan
taklukan pertarungan siang
malam nyayian pengembara pulang

banyak pengembara hilang
tergoda rahim panorama rimba
dicumbu bianglala senja
lelap berpeluk maya

malam menerkam
binatang kegelapan hunus taringnya
mega hitam lumat rembulan
lari ? sia sia menabrak kelam

lalu angin penghabisan
bawa berita
pengembara dibunuh malam

Lewiliang, Bogor 26 Pebruari 2005


HIDUP ATAU MATI

Orang hidup
berani mati takut

orang mati
takut hidup takut

lantaran takut
banyak orang mati dalam hidup
lantas purapura hidup

apalah arti hidup purapura
bila sebenarnya diri tiada

Depok, 29 Juli 2005


HIKAYAT ABAD TIBA

ketika abad hijau
air bening , tanah rimbun, langit biru
bumi kebun matahari

moyang hisap
hingga sumsum raya
sisakan dongeng surga
cucu telan remah peradaban

ini ranah moyang
milik anak zaman
lumat diperut nafsu
mengunyah abad tiba

duka masa datang
bukan dosa musim
orang silam gotongroyong
mencuri abad tiba

jika kita ada dimasa datang
akan paham makna
setetes air
sehelai daun
sepercik api

ratapi dosa lalu

Depok, Oktober 2005


REVOLUSI TIKUS API

Mulanya cuil ompong
mainan kucing tidur

asah gigi pisau
pada dengkur cakar kucing
mengendap maling taring
tak ada yang tau

giginya disembilu hari
cakar kucing dingilu mimpi
patahkan taring tikus peluh letih
tak ada yang mau tau

hardik kucing tinggal lenguh
cicit tikus makin riuh
taring runcing kian sembilu
tak ada yang perlu tau

tikus jelma jadi api
bakar :
dapur
buku
palu
waktu

ketika pondasi rumah jadi abu
siapa mampu jadi pemburu ?

Depok, Oktober 2005


TIKUS API

Di negeri tikus api
sulit beda mana tikus
mana kelinci
pencuri dan orang suci

di negeri tikus api
sang pemburu
menembak hati sendiri

Depok, Oktober 2005


KURSI BUNTUNG

Di kursi buntung
Geneva depan gedung damai

aku dipercik rinai salju
muncrat dari tiga kaki kursi itu
keperkasaannya wartakan berita

kursi buntung
meronda hari
kesetiaan adalah pengabdian

duduk di kursi buntung
tak boleh dengkur
ngigau
meracau
mesti kusuk
angin duduk merajuk

di pasar kursi
orang orang berebut kursi
beralas beludru
hitam atau abuabu

kursi buntung tak laku
tak bisa duduk sukasaku :
para pendengkur
bertarung rebut kursi empuk bergincu


Geneva Swiss-Jakarta, 2000-2009


NEGERI PANTUN

( Kepada Tanjungpinang)

Aku saksikan mata air kata
meluap di lafaz pemantun
jiwa berlabuh didermaga kota
dipeluk peradaban negeri pantun

bahkan laut bahkan ikan
riak air dan gelombang
pantai, pasir dan awan
nelayan dan air pasang

air memberi kata ke laut
riaknya berpantun gelombang
gelombang seru bertaut
mengalir pantun di air pasang

air pasang berpantun pada ikan
ikan membalas kata riang
riang kata umpan nelayan
ikan dipancing dibawa pulang

ikanpantun di lahap perut kota
jadikan orang berlidah pantun
tuntun cakap, mematut kata
adat melayu bertuah santun


Tanjungpinang, 2007


JANGAN TANYA LAGI

Jangan tanya lagi
muasal air direguk
bila hujan asal satu langit
laut
gunung
jarak
hanya memisah badan
sedang kalbu dapat terbang dijulang angin
mengantar rindu hati satu

jangan tanya lagi
muasal darah netes
bila tanah
dari satu bumi
tanyakan kemana tujuan?

Ini hari
kita masih berlari dilangkah semula
terseret waktu lalu
dengan dada luka
lantaran letih toreh nama diri
sementara di lebuh raya
kita tak mampu menebak tapak siapa
sembraut mengacak jejak
dulu pernah digores darah
airmata

sudah lama kita ditipu muslihat nanah
berbau darah
sekarang pekikkan kembali
tanah air dengan hati satu

bedakan mana darah
mana nanah

bila kau darah
kemarilah!

bila kau nanah
berambuslah!
jangan tanya lagi
muasal darah netes
tanyakan hati
aku :
darah
atau
nanah?

Depok, 7 Mei 2008

Rabu, 20 Oktober 2010

Acep Zamzam Noor



Lahir di Tasikmalaya, 28 Februari 1960. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993). Mengikuti workshof seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996). Mengikuti pameran dan seminar seni rupa di Guangxi Normal University, Guilin, dan Guangxi Art Institute, Nanning, Cina (2009).

Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibukota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia). Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994.

Sejumlah puisinya termuat dalam beberapa antologi penting seperti Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987), Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994), Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Takbir Para Penyair (Festival Istiqlal, 1995), Negeri Bayang-bayang (Festival Surabaya, 1996), Dari Negeri Poci III (Tiara, 1996), Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996), Utan Kayu: Tafsir Dalam Permaianan (Kalam, 1998), Bakti Kemanusiaan (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2000), Angkatan 2000 (Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Nafas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan lain-lain.

Sejumlah puisinya juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan termuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), Aseano (Manila, 1995), In Words In Colours (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), Journal of Southeast Asia Literature Tenggara (Kuala Lumpur, 1996), diterjemahkan Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (Ohio University Press, 2001), Poetry And Sincerity (Jakarta, 2006), Asia Literary Review (Hongkong, 2006) serta The S.E.A Write Anthology of Asean Short Stories and Poems (Bangkok, 2008). Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan termuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004), diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan termuat dalam Orientierungen (Bonn, 2008), diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal dan termuat dalam Antologia de Poeticas (Jakarta, 2008). Belakangan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Jepang dan Arab.

Puisi-puisi Sundanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan ke dalam bahasa Perancis oleh Ajip Rosidi dan Henri Chambert-Loir untuk Poemes Soundanais: Anthologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).

Beberapa kali mendapat Hadiah Sastra LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda) untuk puisi Sunda terbaik. Kumpulan puisinya, Di Luar Kata, meraih Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2000 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sedang kumpulan puisi Jalan Menuju Rumahmu selain mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2005 dari Pusat Bahasa, juga mendapat South East Asian (SEA) Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand. Mendapat Anugerah Budaya 2006 dari Gubernur Jawa Barat. Mendapat Anugerah Kebudayaan (Medali Emas) 2007 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI. Kumpulan puisinya, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Namanya termuat dalam Ensiklopedi Sunda dan Apa Siapa Orang Sunda susunan Ajip Rosidi.

Tahun 1995 mengikuti Scond ASEAN Writes Conference di Manila, Filipina, mengikuti Festival Puisi Indonesia-Belanda dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Tahun 1997 mengikuti Festival Seni Ipoh II, di Ipoh, Malaysia. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Jakarta, mengikuti Kuala Lumpur Southeast Asian Writers Meet di Kuala Lumpur, Malaysia. Tahun 2002 mengikuti Festival Puisi Internasional Indonesia di Makassar. Tahun 2004 mengikuti Winternachten Poetry International Festival di Den Haag, Belanda. Tahun 2006 mengikuti Festival Puisi Internasional 2006 di Palembang, mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2006 di Bali. Tahun 2007 mengikuti Utan Kayu International Literary Biennale di Magelang, menjadi mentor pada Bengkel Puisi Majlis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda. Tahun 2008 mengikuti Temu Sastrawan Indonesia di Jambi, mengikuti Jakarta International Literary Festival di Jakarta, mengikuti Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjungpinang, Kepulauan Riau.

Kini Acep tinggal di kampungnya, Cipasung, lima belas kilometer sebelah barat kota Tasikmalaya. Sehari-harinya bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan sambil terus menulis dan melukis. Sekali-kali memenuhi undangan ke berbagai daerah untuk membaca puisi, diskusi, seminar, workshop, menjadi juri atau sekedar jalan-jalan. Jalan-jalan merupakan hobinya yang paling utama, di samping mengoleksi batu akik dan kain batik.


MENJADI PENYAIR LAGI

Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu
Di lantai keramik yang licin. Aku selalu terkenang kepadamu
Setiap melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi
Atau setiap kali menyaksikan penyanyi dangdut di televisi
Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Bau parfummu yang memabukkan
Tiba-tiba menyalinap lewat pintu kamar mandi
Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi
Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata
Sedang bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu
Telah menjelmakan kata-kata juga

Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan
Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja
Bersama kertas, rokok dan segelas kopi. Lalu kutulis puisi
Ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku
Kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu
Celana dalam, kutang serta ikat pinggangmu
Yang dulu kautinggalkan di bawah ranjang
Sebagai ucapan selamat tinggal

Tidak, Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan
Juga tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan
Penyair tidak menangis karena dikhianati
Juga tidak pingsan karena mulutnya dibungkam
Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan, pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya

O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi

1996


DUA PANTAI

Di antara dua pantai. Seperti juga alamat rindu
Tersesatlah kita dalam panjangnya sebuah ciuman
Serta rimbunnya sulur-sulur pohon kenangan:
Tenggelam dalam tahun-tahun yang bergaram
Hanyut dan megap-megap dicumbu kesementaraan

Setangga demi setangga menapaki keagungan upacara
Luput menggapai pangkal kata, menyerah pada debar dada
Kembali merayap dari banjar ke banjar, dari kandang babi
Ke kafe sunyi. Dalam mabuk kita melihat sebuah gambar
Dan nampaklah tubuh-tubuh yang bergelimpangan
Seperti patung-patung yang hangus terbakar

Tertawa karena langit kita masih biru adanya
Perahu masih melaju dalam naungan angin sakal
Dari tenggara. Kita membaca jejak pada kilau ombak
Menenggak arak serta kandungan filsafatnya
Hingga gairah mistik itu kembali membakar udara
Dan tubuh kita menjelma anak-anak panah yang menyala

Di antara dua pantai, seperti juga dermaga cinta
Terkulailah kita dalam letihnya sekian persetubuhan
Serta berlikunya jalan menuju ruang pemujaan:
Ternyata kemesraan masih mempunyai wilayah di bumi
Seperti juga kedalaman hati dengan riak-riaknya yang sopan

1996


TERINGAT LI PO

Siapakah yang melangkah
Meninggalkan jejak gerimis?
Lengkung langit
Sejak semula hanya betah jadi saksi
Yang bisu. Dan angin risik dan daun-daun

Siapakah yang melangkah
Dan bergegas melupakan jejak
Kesedihan? Aku, bayang-bayang dan bulan
Hanya berpandangan. Menunggu. Dan taman lebih bisu
Juga pohon-pohon dan bangku-bangku. Juga waktu

1983

MEDITASI

Angin itu masih duduk-duduk
Di halaman. Merenungi bunga-bunga
Musik hanya lewat
Juga waktu. Angin itu
Seperti abadi. Ketika sunyi
Ketika dingin menggetarkan daun-daun
Membakar ngungun. Gerimis pagi

1983



KETIKA


1

Ketika gempa yang begitu sopan
Menggoyang kampung kami
Kudengar semua nyanyian, semua tarian
Yang tengah digelar di halaman kelurahan
Menjadi senyap. Semua serangga, semua satwa
Semua rumputan, semua tumbuhan dan pohonan
Bahkan semua kata yang terucap, kalimat yang meluap
Amarah yang membumbung seperti asap
Mendadak bisu. Semua mengendap

2

Di kamar sempit kami yang apak dan dindingnya retak
Yang lampunya lindap karena kekurangan minyak
Di ranjang kami yang engselnya longgar dan bantalnya lusuh
Di mana segala desah dan lenguh, segala keluh dan kesah
Terasa begitu jauh. Bahkan segala sumpah dan serapah
Segala ratapan dan jeritan yang ditingkah bunyi kentongan
Terdengar hanya sayup. Kulihat malam menyeret terompahnya
Dan subuh berlabuh pada pelupuh. Kusaksikan cakrawala yang jauh
Kemah-kemah awan yang bergerak pelan dengan semburat kemerahan
Yang kemudian menyelimuti punggung lelaki bungkuk dan sakit-sakitan
Punggung lelaki yang bernama ufuk. Tiba-tiba kami rasakan kembali
Guncangan kecil itu, hentakan pendek itu serta sodokan lunak itu:
Di mana waktu kehilangan langkahnya, menit ditinggalkan detik-detiknya
Dan jam menggenang seperti comberan. Di mana ingatan berlepasan
Pikiran berloncatan dari sarangnya, perasaan menguap begitu saja
Di mana harapan dan keputusasaan tak ada bedanya, hidup dan mati
Begitu tipis jaraknya. Di mana ruang dan waktu terlempar dari porosnya
Langit dan bumi berangkulan seperti sepasang kekasih yang lama
Tidak berjumpa. Di mana sunyi bertahta di atas singgasana

3

Ketika gelombang pasang yang tak ramah
Menyapu daun-daun kelapa dan atap-atap rumah
Ketika angin puting beliung menerjang sawah dan kebun
Merobohkan surau dan madrasah, menggusur sekolah dasar
Dan puskesmas yang terlantar. Kulihat ikan-ikan berterbangan
Ayam-ayam berlarian, sapi dan kambing mati di kandang sendiri
Hansip-hansip menerobos reruntuhan dengan senter dan patromak
Mencari mayat-mayat. Keesokan harinya tentara dan polisi datang
Menggali lubang besar untuk mengubur mereka bersama-sama
Sebelum membusuk. Lalu gempa sialan itu mengguncang kami lagi
Lalu air bah kurang ajar itu menerjang kami lagi. Semuanya lewat
Juga silsilah panjang kami yang tercerabut dari akarnya yang dalam
Semuanya berlalu, juga sejarah yang terpaksa kami biarkan pergi
Entah ke mana. Dan semuanya harus kami relakan untuk tidak kembali
Semuanya, semuanya. Juga keberadaan atau ketiadaan kami ini

4

Aku tidak mengenal musim dan cuaca, lupa tanggal dan nama hari
Hanya tahu bahwa masih ada siang dan malam, ada gelap dan terang
Susah dan senang. Sudah lama aku tak peduli pada baik atau buruk
Pada salah atau benar, hina atau terhormat. Kerjaku hanya main domino
Bertandang dari tenda ke tenda, dari barak ke barak, dari posko ke posko
Hingga kutemukan kembali istriku yang kurus di sela tumpukan kardus
Lalu kami bercinta sambil menunggu giliran masuk kakus, kami bercinta
Sambil mengantri pembagian nasi bungkus, kami bercinta sambil pawai
Merayakan hari kemerdekaan atau sambil berdesakan melihat kampanye
Di kecamatan. Atau sambil menunggu giliran mencoblos di bilik suara
Ah, di tengah semburan lumpur panas kami masih disuruh memilih lurah
Bupati, gubernur dan presiden. Kami disuruh memilih salah seorang
Dari mereka yang suka membagikan kaos, poster, spanduk atau sembako
Salah seorang dari mereka yang wajahnya terpampang di mana-mana
Namun tidak kami kenal dan suara mereka tidak pernah terdengar:
Biar gampang kami pilih saja yang kumisnya paling tebal

5

Di bantaran sungai yang landai, di atas tumpukan sampah yang bau
Gubuk masa depan kami terangkat ke udara, melayang-layang sebentar
Lalu rubuh dan hanyut. Banjir selalu datang setiap tahun, kebakaran
Terjadi setiap bulan, sakit perut berkunjung saban minggu, kelaparan
Dan kemarahan menjadi teman sehari-hari. Sekian lama kami terlunta
Sekian lama mengembara dari kolong jembatan ke bekas gerbong kereta
Namun selalu saja punya alasan untuk tertawa atau menertawakan
Setiap keadaan. Kemarin ada tetangga jatuh dari atap bangunan
Tersangkut di kawat listrik tegangan tinggi. Kemarinnya lagi ada mayat
Mengambang di sumur. Tadi malam anak sulung kami ditangkap polisi
Yang nomer tiga kena flu burung. Lalu dari toko elektronik sayup terdengar
Seorang presiden yang suaranya merdu tengah menyanyi di televisi
Mungkin tentang pelangi yang menghilang dari mata kami

2007.



SAJAK SEORANG PENGUNGSI

/Buat Frans Nadjira


Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun
Di jantungku gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan
Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku
Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat
Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Sepanjang hari
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini
Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan belati terhunus
Kemudian melempari gambar pemimpinnya yang nampang
Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah tiang bendera

Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun
Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan
Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku
Menjadi bajingan. Kembali aku mengembara dalam kesamaran
Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak
Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:
Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh
Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi

Selasa, 02 Februari 2010

jun nizami





jun nizami

Jun An Nizami lahir di Tasikmalaya 21-02-1986. Bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST). Kadang menulis puisi dan cerpen dalam bahasa indonesia dan sunda. Puisi-puisinya pernah terlibat dalam buku antologi puisi Padang Oase (Halaman Moeka Publishing,2009), Antologi Puisi Penyair Nusantara "Musibah Gempa Padang" (Sastra dan Masjid Abdurrahman Bin 'Auf, Kuala Lumpur,2009). http://saungmurung.blogspot.com
"jun an nizami"

Sajaknya aantara lain :


Melayat Gerhana


Inong, ketika matari menggerhana, dewi keadilan telah menutup matanya dengan kain lap hitam, dengan warna kesakitan nasib kita yang temaram

Bukan menimbang tanpa memandang, hanya sebab kaos oblong kita yang bolong tak menarik baginya, hanya sebab kaki kita bersendal jepit yang sebelah berwarna biru pudar yang lainlagi berwarna kelabu yang gemetar

Lihat inong ketika matari menggerhana keadilan malah menyembah berhala. Dan kita mampus

Diinjakinjak sepatu boot olympus. Inong, mungkinkah kita berharap zeus sedikit nervous agar dari bawahtanah kita bisa menyambar segala ketidakadilan

Atau hancurkan samasekali seluruh rasa kemanusiaan?

Lalu apabedanya kita dengan mereka?

Inong, tapi bertanyalah mengapa mata dewi cantik itu ditutup kain, sebab bisa jadi ia adalah perban penyumbat nanah sementara ia lupa bahwa baunya semakin mengejawantah

Maka bersabarlah inong, sementara keadilan menggerhana maka kita harus terus mengasah kata

Kata dari baja yang ditempa di kerak neraka, atau kalimatkalimat pedas yang samasama culas dengan pengingkaran yang kelewat batas

Inong,
dan bersiaplah menantang matari! seberangi laut dan parit, dengan peluh dan rasasakit. Bersama keyakinan yang telah kita rakit, untuk menjarah kembali bintang yang dijarah, dan merampok kembali sabit yang dirampok bandit

Bawalah serta godam yang dendam, lalu hantamkan palu juga tebaskan arit



2009

Tasikmalaya, Peta Pada Dada


/1/

Setiap pulang di dadamu aku rebah
Nanti pulang dalam pelukmu aku istirah.

Rajapolah,adalah sabar ibu menganyam bulumataku,yang menjernihkan kliwon darahku yang abu,yang menafsir garis tanganku dalam kitab primbon masalalu.

Setiap pulang di dadamu aku rebah,perjalanan yang istirah.

Bahwa di balik gamismu telah dikuburkan ari-ariku,yang dikerubung lelembut,untuk sampaikan tawasul rintih dan bisik lembut.

Setiap pulang disambut nyanyi-nyanyi burung,diiring tari para mojang gunung. Juga gerak salsa bocah perawan,yang centil,yang putih matanya bertabur gula dan bubuk intan.

/2/

Setiap pulang di dadamu aku rebah
Nanti pulang dalam pangkumu aku istirah.

Selalu,para ibu yang menumbuk pikiranku di dalam lesung,dan melumuri sajak rinduku dengan adonan tepung.

Lalu menggaunglah Pamijahan,tempat kunyalakan sajak di goa-goa,lalu di tikar buluk ku gelar bersama getar doa. Ku cuci pada laut kidul,ku lebur pada debur Pengabul. Ku erami dalam temaram Kampung Naga,sampai Citanduy yang kenalkanku linang airmata.

Demi rinduku yang selalu melanglang. Menapak pundak tegarnya bapak, demi kubur ari-ari,demi anyaman hasil tangan ibu,dan demi jumat hari lahir juga akhirku.. Adalah di pucuk Galunggung ku letuskan adzan puncak cintaku.

Nanti pulang dalam pangkumu aku tidur,aku berkubur. Setelah seribu kali lagi aku menjadi Petani,memanen padi dengan hati hati-hati.

Selama merinduimu adalah undangan irama atau mendatangimu adalah lambaian panorama. Dan selama di celak mataku,segala kata-kata telah mutlak menjadi ratusan sajak. Ratusan sajak yang blingsatan.



2009