Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Barat

Kamis, 11 Oktober 2007

Sarabunis Mubarok


Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 13 April 1976. Alumni Pondok Pesantren Al-Hikmah, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Menulis puisi dalam bahasa Sunda dan Indonesia, dipublikasikan di berbagai media massa seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan lain-lain, juga di beberapa situs internet seperti Cybersastra, #Sastra-Pembebasan#, Esso Wenni, dsb., serta di beberapa media cetak berbahasa Sunda seperti Mangle, Galura, Cupu Manik dan lain-lain. Termuat juga dalam beberapa antologi bersama seperti Antologi Puisi Jabar-Bali, ROH, (Bukupop Jkt, 2005), Mahaduka Aceh (Jkt, 2004), #sastra-pembebasan# (Damar Warga, Jkt, 2004), Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), Poligami (SST, 2003), Muktamar (SST, 2003), Hijau Kelon dan Puisi 2002 (Kompas, 2002), Orasi Kue Serabi (Gedung Kesenian Tasikmalaya, 2001), Bandung Dalam Puisi (Jendela Seni Bandung, 2001), serta dalam antologi berbahasa Sunda Ti Pulpen Tepi Ka Pajaratan Cinta (Kiblat, Bdg, 2002) dan antologi puisi-prosa Sunda Heulang Nu Ngajak Bengbat (Kiblat, Bdg, 2005). Mendapat hadiah sastra dari Lembaga Basa & Sastra Sunda (LBSS) untuk bidang puisi tahun 2001. Aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST), Komunitas Azan, Komunitas Sastra Sunda LANGARI (Panglawungan Pangarang Kiwari) dan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BP-GKT). Kini tinggal & bekerja di kampungnya di Tasikmalaya. Salah satu puisinya :


Ketika Tinta Menjadi Musuh Penyair

Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur sibuk

mengolah kertas layangan untuk diapungkan bersama

kegembiraan yang mengerat masa silam. Kata-kata

berlarian di kawat telpon, berterbangan menunggangi

gelombang radio, televisi dan internet. Segala komando

menukik ke ulu hati, menggeser posisi ayat-ayat suci,

meruncing dan melukai kecerdasan yang tersisa.


Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur bersepakat

menanam ganja di halaman rumah yang dipagari dalil-dalil

kitab suci. Di setiap musim biru, anak-anak melukis wajah

sendiri di jalan buntu. Sarang laba-laba, kepala ular naga,

aurat wanita muda, meringkus kepala dan menyundul

doa-doa ke liang kubur yang menjelma kamar-kamar

hotel dengan pintu bermuka dua.


Ketika tinta menjadi musuh penyair, orang timur menanak

sekam untuk disuguhkan menemani botol bir, musik disko,

dan bola mata yang berjatuhan ke paha-paha pramuria. Tak

ada kata yang mengucur dari segelas anggur, kecuali salak

anjing yang bersahutan dengan suara adzan. Pada daging

usia yang menghitam, berahi akan menikam, sementara otak

kiri mengirim salam pada mesin-mesin yang bergumam.


2002.

Tidak ada komentar: