Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Barat

Kamis, 11 Oktober 2007

Sigit Rais



Sigit Rais lahir di Bandung, 22 Desember 1984, masih kuliah di program Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI. Menulis (puisi, cerpen, dan esai), melukis, dan berseni peran. Tulisannya pernha di publikasikan dalam Pikiran Rakyat, Radar Bandung, bandung Post, Fantasi, BEN!, Buletin Literal, majalah Islam Message, www. Sarikata.com, Dinamika & Kriminal, Cinta Pertama (Insist, 2005), roh: antologi puisi penyair bali-jawa barat (bukupop, 2005), antologi puisi Pagi di Buntiris (Selasar, 2005), dan antologi puisi tunggal Parade Kegelapan (2005). Pada tahun 2004 salah satu puisinya terpilih sebagai juara 2 dalam lomba yang diadakan oleh Institut Perempuan dan Unicef. Tergabung ke dalam Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI, Mnemonic Gank Mnuliz, QOEJA art club, komunitas SELASAR, Terase 06, komunitas Ruang Aksara, sebagai redaktur cerpen buletin Qalam Rata, dan mengelola media independen Selasar. Di bidang seni peran pernah mementaskan drama Epilepsi (1996), Masyitoh Abad 21 (2000), Cerita Cinta (2001), BOM (2002), Sisit Kadal (2004), Petang di Taman (2005), dan sejumlah pementasan dramatisasi puisi, kabaret, dan performance art. Salah satu puisinya :

Episode Kelahiran
untuk perempuan hebat yang melahirkan aku dan saudara-saudaraku

1983-kelahiran senyum ranum-
tangan-tangan takdirlah yang memisahkan Nakula dan Sadewa. O, garis nasib dipucuk mimpi, perpisahan mereka terlalu dini.
“bunda, aku pergi. Jangan galau masih ada saudaraku tertanam di istana rahimmu”
o, ada senyum ranum di gumpal darah merah. Tetesan beku itu berkata-kata tentang pisah yang akan berbalas pertemuan. Suatu saat nanti

1984-kelahiran di pematang hari-
langit dipayungi sayap bidadari.
di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang
telah menyempurnakan keperempuannya
kedatangannya adalah gempita cinta di
mata bunda. Timang sayang, o, lelaki suci di pematang pagi
berselimut ribu-ribu mimpi, bertahta cahaya di altar sarat do’a
timang sayang, o, lelaki suci di pematang pagi
lihatlah, di situ ada jalan setapak. Jalan sunyi yang diarungi sendiri
o, lelaki suci di pematang pagi
“jangan pergi sendiri!”

o, lelaki suci di pematang pagi, pergi sendiri bersama empat matahari
kematian terlalu dini, lelaki berwujud mimpi!
malam datang bersama malap cahaya bulan mati
perempuan itu kini ditikam sunyi
“anakku telah pergi.”

1984-kelahiran pengemban imajinasi-
adakah senja jadi saksi pasti atas kedatanganku di riuh hari?
ingatlah!
di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang
telah menyempurnakan keperempuaannya
sebagai ibu atas benih lelaki sehidup semati
muncrat keringat campur darah hebat di ketegangan urat
tangis menyengat penat; ini saat yang tepat, saya yang dinanti
“anakku telah kembali!”
suci bayi suci, o, pengemban imajinasi. Itu aku
mereguk cinta bunda dari perempuan bermata permata
astaga, bayi itu tak lagi jadi bayi
“jangan pernah pergi lagi !”

1987- kelahiran bidadari bunga-
o, belahan jiwa bunda. Di mata itu ada prasasti semesta jiwa
segala penjuru adalah padanya. O, belahan jiwa bunda
bidadari bunga menari di galau hati. Ingin dicinta dan mencinta
“jangan pergi, tetap di sisi”
bidadari bunga merasa degup hidup meletup. Nyaris lupa pada isak
serak seorang bunda saat beranak.
Hai ingatlah! di situ ada rintih sakit seorang perempuan yang
telah menyempurnakan keperempuanannya.
“kembalilah menyemai benih cinta bersamaku
agar tumbuh menjadi bunga di sepanjang hidupku”

1994-kelahiran pamungkas-
senyap malam membungkus kemukus, wahai penina-bobo malam
sudah hampir pagi. Di tengah rasa sakit yang tak bisa ditawar lagi
lelaki sehidup semati datang torehkan arti
o, bibir pagi yang jadi saksi pasti
d itu ada rintih sakit seorang perempuan yang
telah menyempurnakan keperempuanannya. Ibu semesta jiwaku
Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar...
kumandang terang adalah senandung cinta perempun bernama bunda
“ini cinta adalah nyawa dari ikatan kita
jadilah matahari yang terbit di mula hari!”
bunda, kami ingin selalu di sisimu

14/12/05

Tidak ada komentar: